Senin, 12 Januari 2015 (Sumber: Batam Pos)
JAKARTA (BP) – Ombudsman Republik Indonesia
memberikan rekomendasi kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
terkait dengan laporan beberapa investor di Batam mengenai tidak
diberikannya layanan permohonan hak guna bangunan (HGB) oleh kantor
Pertanahan Kota Batam akibat terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 463/Menhut-II/2013. Ombudsman merekomendasikan agar Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerbitkan keputusan baru untuk
menetapkan kawasan hutan dan bukan hutan di Provinsi Kepri.
Ketua Ombudsman, Danang Girindrawardana menyatakan, SK Menhut Nomor
463 Tahun 2013 itu menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi di
Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun yang telah ditetapkan sebagai
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
SK Menteri Kehutanan yang terbit di era Zulkifli Hasan itu mengatur
tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan,
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan
Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Riau.
”Setelah melakukan pemeriksaan awal, Ombudsman RI melakukan kajian
sistemik tentang penerbitan SK Menteri Kehutanan Nomor
463/Menhut-II/2013, yang mengakibatkan terhentinya proses pelayanan
publik di kawasan Pulau Batam dan Kepulauan Riau,” kata Danang dalam
jumpa pers di Ombudsman, Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Danang, SK Menhut Nomor 463 Tahun 2013 itu justru menimbulkan
ketidakpastian hukum dan terhentinya layanan bagi masyarakat dan dunia
usaha. Khususnya, dalam hal perizinan investasi, pemberian hak
pengelolaan lahan (HPL) dan penerbitan sertifikat HGB, administrasi
pertanahan, serta layanan perbankan.
”Yang pada ujungnya dapat memberikan dampak pada pelemahan citra Indonesia sebagai daerah tujuan investasi,” ujarnya.
”Yang pada ujungnya dapat memberikan dampak pada pelemahan citra Indonesia sebagai daerah tujuan investasi,” ujarnya.
Danang menjelaskan menteri kehutanan telah melakukan maladministrasi
dalam penerbitan SK Menhut Nomor 463 Tahun 2013. Pasalnya, SK itu
mengabaikan Perpres 87 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Batam, Bintan, dan Karimun yang bertujuan untuk penyelenggaraan,
pengembangan, dan peningkatan fungsi-fungsi perekonomian nasional.
Danang menegaskan, SK Menteri Kehutanan Nomor 463 itu juga tidak
berdasarkan pada keputusan hasil Tim Terpadu sesuai ketentuan PP 10
tahun 2010. Hal ini berimbas terhentinya proses penyelenggaran publik di
Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau.
Maladministrasi, sambung Danang, juga dilakukan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional c.q Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Kepulauan Riau c.q Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam. ”Yakni menolak
permohonan penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan di atas tanah yang
berdasarkan Perpres Nomor 87 tahun 2011,” tuturnya.
Terkait persoalan itu, Danang mengungkapkan bahwa Ombudsman
mengeluarkan beberapa rekomendasi. Salah satunya ditujukan kepada
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Menteri lingkungan hidup dan kehutanan wajib menerbitkan keputusan
baru untuk menetapkan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Provinsi
Kepulauan Riau,” ucapnya.
Selain itu, Ombudsman juga memberikan rekomendasi kepada Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kanwil
BPN Provinsi Kepri, dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam untuk
menyelenggarakan pelayanan publik bidang pertanahan sesuai dengan
kewenangan mereka.
Danang menyatakan pihak terkait yaitu Gubernur Provinsi Kepulauan
Riau, Wali Kota Batam, dan Kepala BP Batam wajib menyelenggarakan
pelayanan publik bidang perizinan dan pengelolaan kawasan sesuai
kewenangan masing-masing”. Pelaksanaannya harus mengacu pada ketentuan
Perpres 87 tahun 2011. ”Yang di antaranya mengatur tentang wilayah yang
boleh diterbitkan sertifikat,” tandasnya.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013 memang
dinilai beberapa pihak malah melahirkan ketidakpastian hukum bagi
investor dan masyarakat di Batam. Investor sudah memenuhi semua
perizinan sebelum mulai operasi. Namun, SK Menhut menyebabkan areal
operasi mereka mendadak menjadi kawasan terlarang bagi kegiatan
industri. Hal ini membuat investor terancam kehilangan haknya walau
sudah memenuhi semua ijin dan membayar pajak serta retribusi kepada
negara.
Sedangkan dalam Perpres No. 87/2011 disebutkan bahwa kawasan Tanjung
Uncang, Tanjung Gudap, Batu Ampar, Telaga Punggur dan Sekupang sebagai
kawasan industry. Namun, dalam SK No.463/Menhut-II/2013 disebutkan
Tanjung Uncang, Tanjung Gudap dan Batu Ampar sebagai Kawasan Hutan,
sementara wilayah itu selama ini dikenal sebagai kawasan industri.
Selain itu, SK Menhut itu juga menyebutkan jika kawasan Batam Center
dan Batu Aji sebagai areal hutan. Padahal, kantor pemerintah dibangun
dikawasan Batam Center dan ribuan rumah berdiri di Batu Aji lebih dari
10 tahun. (jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar