Jakarta - Komisi VI DPR menegaskan perlunya Badan
Pengusahaan (BP) Batam segera dikembalikan di bawah Presiden, seperti
sebelumnya masa masih Otorita Batam.
Sebab, BP Batam memiliki posisi setara dengan kementerian, sehingga menjadi mitra dari DPR, bukan DPRD.
"BP
Batam merupakan mitra dari DPR, bukan DPRD. Oleh karena itu BP Batam
memiliki posisi yang setara dengan kementerian," kata Slamet Junaidi,
Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Nasdem, di Jakarta, Senin
(31/8/2015).
Menurut Junaidi, penyebab kinerja BP Batam tidak maksimal selama ini karena BP Batam berada di bawah bayang-bayang kebijakan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau yang juga merangkap sebagai Ketua Dewan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
"Penyebab kinerja BP batam tidak maksimal karena BP Batam berada di bawah bayang–bayang kebijakan gubernur. Hal ini terjadi karena Keppres No. 9/2008 yang mencantumkan bahwa Dewan Kawasan dipimpin langsung oleh Gubernur, tidak seperti sebelumnya, dimana BP Batam (Otorita Batam) langsung di bawah Presiden dan dapat berkordinasi langsung dengan kementerian dan lembaga untuk memperkuat program-program BP Batam," jelasnya.
Junaidi menilai, peraturan perundang-undangan atau regulasi yang mengatur BP Batam perlu dilakukan pembahasan ulang, agar kinerja BP Batam maksimal.
"Apa penyebab kinerja BP Batam tidak dapat maksimal, di antaranya karena terbatasnya peraturan perundang-undangan yang ada saat ini seperti UU 44/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. UU ini Perlu direvisi dan perlu ada pembahasan ulang," katanya.
Anggota Komisi VI lainnya dari Fraksi Nasdem, Nyat Kadir, mengatakan, Komisi VI DPR telah membentuk Panja Pengelolaan BP Batam. Panja tersebut akan melakukan kajian terhadap berbagai regulasi yang mengatur Batam, seperti UU No.53 tahun 1999.
Sayangnya, di dalam UU ini tidak diatur secara jelas kewenangan antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Implikasinya sering terjadi gesekan, seperti kasus pengelolaan Rempang-Galang yang sampai sekarang masih menjadi polemik.
"Padahal itu kan masalah sederhana, hanya tinggal membagi kewenangannya saja dari pusat. Jadi memang perlu Komisi VI membentuk Panja, untuk mengumpulkan persoalan yang terjadi disana," kata mantan Wali Kota Batam ini.
Anggota DPR asal Kepri ini mengatakan, kesepakatan untuk membentuk Panja Pengelolaan BP Batam adalah karena melambatnya pertumbuhan dan perkembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam yang telah diberi jangka waktu 70 tahun.
Kawasan tersebut meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru, sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007.
"Hal ini mengemukan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VI DPR dengan BP Batam pada bulan Juni lalu, sehingga disepakati membentuk Panja. Seluruh anggota Komisi VI setuju untuk membentuk Panja Pengelolaan BP Batam agar kinerjanya bisa maksimal," katanya.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2007 tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal Pasal 4, dimana pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Adapun PP yang mengaturnya adalah PP 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, kedudukan BP Batam di bawah Gubernur Kepri yang juga Ketua DK BBK, termasuk juga pengangkatkan kepala BP Batam dan para pejabat lainnya juga ditentukan oleh Gubernur Kepri.
Padahal, BP Batam selama ini merupakan mitra Komisi VI DPR yang selalu mendapatkan alokasi anggaran dari APBN, karena merupakan lembaga non struktural yang dibentuk pemerintah, yang dahulu bernama Otorita Batam dibentuk oleh mantan Presiden BJ Habibie untuk menandingi pertumbuhan ekonomi Singapura.
Karena itu, BP Batam bukan merupakan mitra dari DPRD, meskipun kedudukannya sekarang di bawah kendali Gubernur Kepri yang juga Ketua DK BBK. Kedudukannya yang tidak jelas ini membuat kinerja BP Batam tidak maksimal, sehingga perlu dikembalikan di bawah Presiden.
Sebagaimana BP Batam, Badan Pengusahaan (BP) Sabang yang diatur dalam UU No.37 tahun 2000 dan PP No.83 Tahun 2010 juga merupakan mitra Komisi VI DPR, bukan mitra kerja DPRD karena mendapatkan alokasi anggaran dari APBN.
Namun, saat Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala BP Sabang tidak hadir memenuhi undangan Komisi VI DPR dan hanya mengutus para deputinya, sementara Kepala BP Sabang lebih memilih mengikuti kegiatan Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Akibatnya, Komisi VI DPR mengusir para deputi BP Sabang saat Rapat Dengar Pendapat beberapa waktu lalu, dan tak akan membahas anggaran tahun 2016, hingga Kepala BP Sabang hadir memenuhi panggilan Komisi VI DPR.
Artinya, baik BP Batam dan BP Sabang adalah mitra DPR yang mendapatkan alokasi anggaran dari APBN setiap tahunnya, bukan dari APBD. BP Batam bukan merupakan mitra dari DPRD Provinsi Kepri, maupun DPRD Kota Batam, tetapi merupakan mitra Komisi VI DPR.
Menurut Junaidi, penyebab kinerja BP Batam tidak maksimal selama ini karena BP Batam berada di bawah bayang-bayang kebijakan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau yang juga merangkap sebagai Ketua Dewan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
"Penyebab kinerja BP batam tidak maksimal karena BP Batam berada di bawah bayang–bayang kebijakan gubernur. Hal ini terjadi karena Keppres No. 9/2008 yang mencantumkan bahwa Dewan Kawasan dipimpin langsung oleh Gubernur, tidak seperti sebelumnya, dimana BP Batam (Otorita Batam) langsung di bawah Presiden dan dapat berkordinasi langsung dengan kementerian dan lembaga untuk memperkuat program-program BP Batam," jelasnya.
Junaidi menilai, peraturan perundang-undangan atau regulasi yang mengatur BP Batam perlu dilakukan pembahasan ulang, agar kinerja BP Batam maksimal.
"Apa penyebab kinerja BP Batam tidak dapat maksimal, di antaranya karena terbatasnya peraturan perundang-undangan yang ada saat ini seperti UU 44/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. UU ini Perlu direvisi dan perlu ada pembahasan ulang," katanya.
Anggota Komisi VI lainnya dari Fraksi Nasdem, Nyat Kadir, mengatakan, Komisi VI DPR telah membentuk Panja Pengelolaan BP Batam. Panja tersebut akan melakukan kajian terhadap berbagai regulasi yang mengatur Batam, seperti UU No.53 tahun 1999.
Sayangnya, di dalam UU ini tidak diatur secara jelas kewenangan antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Implikasinya sering terjadi gesekan, seperti kasus pengelolaan Rempang-Galang yang sampai sekarang masih menjadi polemik.
"Padahal itu kan masalah sederhana, hanya tinggal membagi kewenangannya saja dari pusat. Jadi memang perlu Komisi VI membentuk Panja, untuk mengumpulkan persoalan yang terjadi disana," kata mantan Wali Kota Batam ini.
Anggota DPR asal Kepri ini mengatakan, kesepakatan untuk membentuk Panja Pengelolaan BP Batam adalah karena melambatnya pertumbuhan dan perkembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam yang telah diberi jangka waktu 70 tahun.
Kawasan tersebut meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru, sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007.
"Hal ini mengemukan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VI DPR dengan BP Batam pada bulan Juni lalu, sehingga disepakati membentuk Panja. Seluruh anggota Komisi VI setuju untuk membentuk Panja Pengelolaan BP Batam agar kinerjanya bisa maksimal," katanya.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2007 tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal Pasal 4, dimana pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Adapun PP yang mengaturnya adalah PP 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, kedudukan BP Batam di bawah Gubernur Kepri yang juga Ketua DK BBK, termasuk juga pengangkatkan kepala BP Batam dan para pejabat lainnya juga ditentukan oleh Gubernur Kepri.
Padahal, BP Batam selama ini merupakan mitra Komisi VI DPR yang selalu mendapatkan alokasi anggaran dari APBN, karena merupakan lembaga non struktural yang dibentuk pemerintah, yang dahulu bernama Otorita Batam dibentuk oleh mantan Presiden BJ Habibie untuk menandingi pertumbuhan ekonomi Singapura.
Karena itu, BP Batam bukan merupakan mitra dari DPRD, meskipun kedudukannya sekarang di bawah kendali Gubernur Kepri yang juga Ketua DK BBK. Kedudukannya yang tidak jelas ini membuat kinerja BP Batam tidak maksimal, sehingga perlu dikembalikan di bawah Presiden.
Sebagaimana BP Batam, Badan Pengusahaan (BP) Sabang yang diatur dalam UU No.37 tahun 2000 dan PP No.83 Tahun 2010 juga merupakan mitra Komisi VI DPR, bukan mitra kerja DPRD karena mendapatkan alokasi anggaran dari APBN.
Namun, saat Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala BP Sabang tidak hadir memenuhi undangan Komisi VI DPR dan hanya mengutus para deputinya, sementara Kepala BP Sabang lebih memilih mengikuti kegiatan Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Akibatnya, Komisi VI DPR mengusir para deputi BP Sabang saat Rapat Dengar Pendapat beberapa waktu lalu, dan tak akan membahas anggaran tahun 2016, hingga Kepala BP Sabang hadir memenuhi panggilan Komisi VI DPR.
Artinya, baik BP Batam dan BP Sabang adalah mitra DPR yang mendapatkan alokasi anggaran dari APBN setiap tahunnya, bukan dari APBD. BP Batam bukan merupakan mitra dari DPRD Provinsi Kepri, maupun DPRD Kota Batam, tetapi merupakan mitra Komisi VI DPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar