BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) setuju Badan
Pengusahaan (BP) Batam di bawah Presiden, tidak seperti sekarang
kedudukannya di bawah Dewan Kawasan yang diketuai Gubernur Provinsi
Kepri.
"Kalau untuk kepastian percepatan
perizinan di bawah Presiden itu bagus, saya setuju. Semua memang harus
selesai di Batam, kepastian kecepatan perijinan untuk dunia usaha, itu
perlu," kata Haripinto Tanuwidjaja, Senator asal Provinsi Kepri di
Jakarta,Senin (31/8/2015).
Menurutnya, dualisme
kewenangan di Batam saat ini menambah ruwet perijinan investasi,
sehingga terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi di Batam. Pemerintah
pusat memang perlu mengambil alih kewenangan agar iklim investasi di
Batam berjalan efektif dan birokrasi perijinan tidak berjalan
berblit-belit.
"Untuk urusan investasi
pemerintah harusnya mencontoh Tiongkok dan Vietnam, pemerintah memang
mengusai penuh, tetapi kemudian memberikan otonomi kewenangannya ke
tingkat prefektur (kecamatan, red) untuk mengeluarkan perijinan. Dan itu
sangat efektif, investasi mereka sangat berkembang," katanya.
Dengan
mengembalikan kedudukan BP Batam di bawah Presiden, kata Haripinto,
diharapkan Presiden memberikan kewenangan penuh kepada BP Batam untuk
mengeluarkan/menerbitkan perijinan investasi di Batam, tidak ada
instansi lain seperti sekarang ini.
"Agar
perijinan efektif, selesaikan di Batam semua, biar dikelola BP Batam.
Sekarang kalau soal bea cukai saja, perijinannya harus ke pusat, belum
ijin memasukkan barang lainnya. Semua ini harus dipangkas, semua
diselesaikan di Batam. Kalau perijinan cepat, investasi di Batam tentiu
akan berkembang pesat," kata Anggota Komite IV DPD ini.
Sedangkan
Senator asal Provinsi Kepri lainnya, Djasarmen Purba meminta Pemerintah
Kota (Pemko) Batam dan BP Batam segera melakukan investarisasi
berkaitan dengan tingginya harga beberapa komoditi pedukung dasar
konstruksi dan properti seperti semen, asphalt, besi dan keramik.
Tingginya
harga komoditi pendukung dasar konstruksi dan properti di Batam,
ungkapnya, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah luar pulau
batam terdekat seperti Tanjungpinang dan Pekanbaru.
"Hal
ini hampir sulit dimengerti mengingat BATAM adalah kawasan FTZ yang
memiliki pembebasan fiskal dalam bentuk bebas bea masuk, PPN dan PPN BM
serta PPH 21. Kondisi ini tentunya mempengaruhi minat investor terutama
investasi dalam bidang proyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan
laut, jalan dan jembatan serta properti," kata Djasarmen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar