Selasa, 24 December 2013 ( sumber : Haluan Kepri )
BATAM CENTRE (HK)- Ketua National Coruption Watch (NCW) Kepri Mulkansyah menilai BP Batam (dulu Otorita Batam ) sudah maksimal dalam memberikan alokasi lahan kepada masyarakat. Karena itu, ia menyayangkan keluarnya SK Menhut No 463 tahun 2013 tentang banyaknya lahan yang masuk dalam kawasan hutan lindung di Batam.
" BP Batam selama ini kita melihat sudah bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Kalau tiba-tiba keluar aturan baru yang mengkebiri, kebijakan mereka tentu ini sangat disayangkan. Salah satunya adalah SK Menhut nomor 463 itu " katanya, kemarin.
SK Menhut tersebut, lanjut dia, tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap iklim investasi di Batam tetapi juga merugikan masyarakat yang rumahnya masuk dalam kawasan hutan lindung. Nilai lahan yang ditempati masyarakat menjadi tidak berharga.
Ia juga menyebutkan, Komisi IV DPR RI saat melakukan peninjauan langsung ke beberapa lokasi di Batam, menilai SK Menhut, tak sesuai dengan realita di lapangan.
SK Menhut harus mengacu kepada realita. Pada kenyataan berbeda dengan yang direkomendasikan oleh Tim Padu Serasi kepada Menhut.
Lokasi Polygon yang ditinjau langsung oleh Komisi IV DPR RI, masing-masing Sukajadi, Batamindo, Tanjunguncang, Marina, Batu Ampar, dan kawasan Nagoya. Ketujuh lokasi itu, sesuai dengan SK Menhut 463/2013 masuk dalam kategori Dampak Penting Cakupan Luas dan Strategis (DPCLS).
Ia mencium ada aroma yang tidak beres dalam kasus hutan lindung ini. Untuk itu, dalam waktu dekat ia akan melaporkan masalah ini ke KPK. Langkah tersebut dilakukan karena ada unsur korupsi di dalamnya.
Menhut yang menjalankan amanah pemegang UU 41/1999 meneruskan kesepakatan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHT) tahun 1987. Sementara Pemko dan Pemprov dalam penyususan RTRW mengacu kepada Perpres. Dalam hal ini, SK Menhut yang diberi kewenangan UU tak sepantasnya berbeda dengan Perpres.
"Ada persolan ketatanegaraan yang serius di sini. Artinya, ada manajemen pemerintah yang tidak jalan," pungkasnya.
Keberatan terhadap SK Menhut tentang penunjukkan wilayah hutan di Batam terus berlanjut. Bukan cuma menggelar aksi demo, atau menggugat ke PTUN, masyarakat yang merasa dirugikan atas terbitnya SK tersebut juga melayangkan surat protes ke Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Bali Dalo SH, salah seorang warga yang mengaku menjadi korban dari terbitnya SK Menhut itu mengatakan, dirinya telah menyurati Presiden SBY. Surat tersebut dia kirim tertanggal 14 September 2013.
"Rumah saya di Mukakuning (Kecamatan Seibeduk) itu juga masuk kawasan hutan lindung. Jadi saya ini korban," kata Bali Dalo.
Kata Bali Dalo, surat itu juga ditembuskannya kepada Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Kapolri, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia, Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sekretaris Negara, Gubernur Provinsi Kepri, Kapolda, Ketua DPRD Provinsi Kepri, Walikota Batam, Kepala BP Kawasan Batam, Kapolresta Barelang, Ketua DPRD Kota Batam, Kepala BPN Kota Batam, Camat se-Kota Batam, dan Lurah se-Kota Batam. Bukan cuma protes, dalam surat tersebut dia juga memaparkan sejumlah solusi penyelesaian hutan lindung di Batam.
Bali menjelaskan, SK Menhut tersebut telah menetapkan lokasi hutan lindung di atas lokasi perumahan, pusat bisnis, pusat industri, dan kantor pemerintah. Penilaiannya, Menhut telah menghina anak bangsa sendiri dan telah menjadikan sebagian masyarakat Kota Batam sebagai penghuni hutan lindung dan dapat diartikan sama dengan penghuni hutan lainnya. (nic/cw86)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar