( sumber Batam Pos,versi asli) Wednesday, 19 January 2011
Oleh: Oka SimatupangKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam
Penerapan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam, masih jauh dari harapan. Kondisi ini diperparah dengan rancunya aturan main di kawasan FTZ dan sama sekali tak menguntungkan bagi iklim investasi.
Ada beberapa catatan penting, terutama dalam aturan serta pelaksanaan lapangan oleh perangkat pelaksana FTZ di kawasan ini, soal arah perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Pemberlakukan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan Atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Pertama, seharusnya di ”kawasan yang telah ditunjuk” tidak berlaku Undang-Undang Kepabeanan. Bila diperhatikan UU No 36 Tahun 2000 disusun dan disahkan tidak berdasarkan atau tidak mengacu kepada UU Kepabeanan. Hal itu disebabkan barang yang masuk dan keluar dari dan ke luar pabean serta yang berada di kawasan yang ditunjuk itu bukan kategori impor dan atau ekspor.
Sehingga regulasinya mutlak mengarah kepada kondisi tersebut, sehingga tidak mungkin diberlakukan ketentuan kepabeanan, perpajakan, dan cukai. Karena itu jangan lagi aparat/pejabat BC melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan tersebut, kecuali terhadap barang yang masuk dan keluar dari dan ke daerah pabean saja, tetap harus memakai UU Kepabeanan.
Kedua, selama ini pelaksanaan dari pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari serta yang berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, telah dibelokkan dan disesatkan, menjadi seolah-olah sama dengan di daerah pabean. Perbedaannya cuma tidak dikenakan BC. Selebihnya semua sama. Inilah yang memerlukan perubahan yang menyeluruh sesuai dengan maksud pembuat UU.
Ketiga, petugas kepabeanan di pelabuhan yang ditunjuk dapat bekerjasama dengan petugas BP Kawasan dalam memilih dan memilah barang yang menjadi kewenangannya mengawasi di pelabuhan yang ditunjuk itu saja, tidak sampai ke tempat pabrik lagi atau tempat lain. Inilah perdebatan yang tidak ada habisnya, antara pengusaha dengan petugas kepabeanan di pelabuhan yang sampai sekarang tidak terdapat titik temu. Karena pada prakteknya petugas kepabeanan masih gentayangan sampai di tempat usaha/toko/pabrik atau tempat lainnya, mengawasi barang ini yang rancu.
Padahal UU FTZ mengatur petugas kepabeanan hanya di pelabuhan saja.
Keempat, tidak adanya aparat/petugas BP Kawasan di pelabuhan menjadi salah satu alasan yang sulit dijawab karena tidak adanya peraturan yang mengatur. Padahal menurut pasal 15 UU NO 36 Thn 2000 yang direvisi dengan Perpu Nomor 01 Tahun 2007 JO UU Nomor 44 Tahun 2007, BP Kawasan dengan persetujuan Dewan Kawasan dapat mengadakan peraturan di bidang tata tertib pelayaran dan penerbangan lalu lintas barang di pelabuhan, dan penyediaan fasilitas pelabuhan, dan lain sebagainya serta penetapan tarif untuk segala macam tarif jasa sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Kelima, persoalan selama ini BP Kawasan belum pernah mengeluarkan/mengadakan peraturan di bidang-bidang yang menjadi kewenangannya. Begitu juga regulasi dan mekanisme Dewan Kawasan bekerja, atau prosedur kerjanya, masih sangat lemah dan tidak mendukung terciptanya iklim yang baik bagi pelaksanaan kegiatan di kawasan yang telah ditunjuk tersebut. Maka draf yang diusulkan oleh pengusaha menjadi penting untuk dibahas dan ditetapkan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar