Kamis, 26 Februari 2015 (Sumber: Batam Today)
Batam - Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menyoroti status lahan di Batam yang
belum ada kepastian hukum hingga menganjal pertumbuhan bisnis dan
investasi. Bahkan, status lahan di Batam menimbulkan keresahan investor.
"Padahal Batam sebagai wilayah yang memiliki keistimewaan sebagai kawasan pelabuhan bebas dan perdagangan bebas menjadi tolak ukur perekonomian di Indonesia," kata Sri Adiningsih, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), seusai menggelar rapat tertutup bersama Ombudsman RI dan Badan Pengusahaan (BP) Batam, Rabu (25/2/2015). Rapat itu sendiri membahas masalah lahan dan RTRW di Batam.
Dia berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Ombudsman bisa segera menyelesaikan masalah lahan di Batam. "Kalau belum kelar, akan berdampak pada perekonomian dan investasi," terang Sri.
Dia menambahkan, Ombudsman telah mengeluarkan rekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan ditindaklanjuti dengan menerbitkan peraturan yang bisa menjadi landasan hukum yang pro kepada investasi di Batam. "Rekomendasi Ombudsman itu dua bulan setelah disampaikan harus diselesaikan. Harapan kita, bulan Maret sudah diselesaikan," kataya.
Terkait pengelolaan lahan, Sri menyampaikan tergantung kepada kewenangan masing-masing baik itu BP Batam maupun Pemko Batam. "BP Batam maupun Pemko masing-masing punya kewenangan berbeda," katanya.
"Kita Menunggu finalisasi sampai sebulan lagi," katanya lagi.
Selepas itu, rombongan melakukan peninjauan ke kawasan Industri Sat Nusa, Batuampar dan Kabil.
Diberitakan sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia, Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, menilai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor: 463/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Kepulauan Riau (Kepri), yang terbit di era Menhut Zulkifli Hasan, merupakan bentuk penyimpangan prosedur pelayanan publik atau maladministrasi.
SK Menhut No. 463 yang telah direvisi menjadi SK 867 itu, telah menimbulkan pemanfaatan kawasan hutan di Kepri dan Batam yang tak sesuai peruntukannya tersebut harus dicabut dan diganti SK yang baru.
Ombudsman merekomendasikan agar Kementerian Kehutanan, yang kini nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bawah pimpinan Siti Nurbaya Bakar, dalam waktu 60 hari harus menerbitkan SK baru tentang Kawasan Hutan di Kepri agar tidak menghambat pelayanan dunia usaha, khususnya perijinan investasi di Batam.
Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana, saat membacakan paparan rekomendasinya di Jakarta, Jumat (9/1/2015), mengatakan SK Menhut 463 yang dikeluarkan pada era Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan itu dianggap menghambat pelayanan dunia usaha khususnya perizinan investasi di Batam.
"Menteri Kehutanan telah melakukan maladministrasi dalam penerbitan SK Menhut No. 463/Menhut-II/2013 berupa penyimpangan prosedur dalam bentuk mengabaikan Perpres 87/2011 dan tidak mendasarkan keputusannya pada hasil Tim Terpadu sesuai ketentuan PP 10/2010," kata Danang Girindrawardana di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Akibat SK Kemenhut itu, proses penyelenggaraan pelayanan publik di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau disebut menjadi terhambat karena terjadi ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan.
"Atas penerbitan SK tersebut, proses penyelenggaraan pelayanan publik di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau menjadi terhenti. Belum lagi terhentinya layanan administrasi pertanahan oleh BPN untuk lahan yang terletak di area yang terindikasi hutan karena ketidakjelasan peta lampiran SK tersebut," jelasnya.
Menurut Danang, akibat SK itu muncul ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan. "Sekaligus melemahkan citra positif Indonesia, khususnya wilayah BBK, sebagai daerah tujuan investasi," ujarnya.
Zulkifli Hassan selaku Menhut saat itu, katanya, berdasar kajian Ombudsman dianggap mengeluarkan SK yang tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) . Selain itu SK tersebut juga tidak memperhatikan Perpres No 87 Tahun 2011 yang mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan BBK.
"Dalam Perpres tersebut telah ditetapkan bahwa kawasan Tanjunguncang, Tanjunggudap, Batuampar, Telaga Punggur dan Sekupang sebagai kawasan industri. Namun dalam SK Menhut No.463/Menhut II/2013 kawasan-kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan," katanya.
Selain itu SK No.463 Menhut juga tidak memperhatikan kondisi eksisting dengan menetapkan kawasan Batam Center dan Batuaji sebagai areal hutan. (Baca: Menhut Segera Tindaklanjuti Rekomendasi Ombudsman Terbitkan SK Baru Kawasan Hutan di Kepri)
"Padahal di lokasi tersebut telah berdiri kantor pemerintahan dan sudah puluhan tahun dibangun di kawasan Batam Center dan ribuan rumah penduduk sudah terbangun di Batuaji," lanjut Danang.
Danang menegaskan, terbitnya SK ini membuat kondisi sosial di Batam menjadi tidak kondusif. Sebab SK Menhut membuat sekitar 22 ribu rumah dan 49 galangan kapal di Batam tiba-tiba berada di lokasi hutan alias ilegal.
"Padahal rumah-rumah penduduk dan galangan kapal tersebut sebelumnya telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah," katanya.
Akibatnya, investor yang sudah memenuhi syarat perizinan dan telah memenuhi kewajiban membayar pajak malah terancam kehilangan haknya karena perubahan penetapan lokasi menjadi kawasan hutan.
Atas dasar itu, Ombudsman RI melakukan kajian sistemik terkait persoalan tersebut dan mendapati berbagai temuan maladministrasi yang kemudian dituangkan dalam Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia.
"Karena itu Ombudsman merekomendasikan agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Siti Nurbaya Bakar, red) menerbitkan SK baru untuk menetapkan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Kepulauan Riau berdasarkan hasil penelitian Tim Terpadu," katanya.
Danang mengingatkan, sesuai ketentuan Pasal 38 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, menegaskan rekomendasi yang dikeluarkan wajib dilaksanakan.
"Dan melaporkan pelaksanaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi ini," pungkasnya. (*)
Editor: Roelan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar