Kamis, 26 Februari 2015 (Sumber: Media Indonesia)
MI/Hendri Kremer
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap penyelewengan dana sea port tax di Pelabuhan Harbour Bay, Batam, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp69,7 miliar dalam rentang 5 November 2006 hingga 14 Juli 2010. Itulah sebabnya banyak yang menyesalkan tindakan Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Media Indonesia
menelusuri bagaimana modus pelaku menghilangkan hak negara di pelabuhan
khusus pariwisata tersebut. Ini merupakan laporan pertama.
PADA Kamis, 27 Desember 2012, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan telah menyetop penyidikan terhadap lima kasus sepanjang 2012. Empat kasus di antaranya, diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dan tidak jadi dituntut karena kejaksaan tidak menemukan cukup bukti.
Dan satu kasus lainnya, karena penyidik tidak mendapati unsur pidananya.
Seperti dijelaskan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu, Setia Untung Arimuladi,kasus
yang dihentikan karena tidak cukup bukti adalah perkara Sistem
Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Kementerian Hukum dan HAM,
perkara dugaan korupsi pengalihan hak atas tanah milik Pemerintah Kota
Bogor, Jawa Barat, perkara dugaan tindak pidana penggelembungan harga
tiket perjalanan dinas di Kementerian Luar Negeri pada tahun anggaran
2006-2009, dan perkara dugaan tindak pidana gratifikasi yang melibatkan
sebuah perusahaan swasta di Aceh.
Perkara
Sisminbakum dihentikan pada 5 Mei 2012, kasus di Bogor disetop pada 10
Desember 2012, kasus di Kemenlu mendapat SP3 pada 15 Februari 2012, dan kasus gratifikasi di Aceh disetop pada 7 Maret 2012. Sedangkan
sebuah kasus lainnya adalah proyek pembangunan Pelabuhan Khusus Harbour
Bay di Batam yang dihentikan pada 10 Desember 2012. Perkara ini
dihentikan karena penyidik menyimpulkan tidak ada unsur pidana.
Padahal,
berdasarkan audit yang dilakukan lembaga auditor negara, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus penyelewengan uang negara di Harbour Bay
mengakibatkan kerugian dalam jumlah hampir Rp70 miliar. Auditor BPK menemukan kerugian negara Rp69,7 miliardalam rentang tiga tahun delapan bulan, yaitu sejak 5 November 2006 hingga 14 Juli 2010.
Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diperoleh Media Indonesia menyebutkan, kasus ini bermula dari PT Citra Tritunas (CT) yang mengantongi izin pengoperasian pelabuhan khusus (pelsus) pariwisata. Sehingga, perusahaan itu hanya mengelola seputar pariwisata, misalnya, kapal-kapal pesiar yang bersandar.
Merekasebenarnya
tidak diperkenankan melayani jasa penyeberangan reguler ke luar negeri.
Jasa penyeberangan dari Batam-Singapura maupun Batam-Malaysia sebenarnya merupakan wewenang pelabuhan umum. Praktiknya, meski
hanya mengantongi izin pelabuhan khusus pariwisata, CT tetap
menjalankan bisnis seperti perusahaan yang mengantongi izin pelabuhan
umum. Mereka memungutbiaya pass penumpang dan biaya jasa tambat sebagaimana pihak yang mengantongi izin penyeberangan reguler. Bedanya, pendapatan dari pungutan pass penumpang dan jasa tambat itu tidak disetor ke kas negara.
Nilai pass
penumpang yang digelapkan CT diperoleh BPK dari data penumpang di
Pelabuhan Harbour Bay yang tercatat di Kantor Imigrasi Batam. Dengan
mengalikan total jumlah penumpang dengan tarif yang berlaku, didapat
kerugian negara sebesar Rp2,183 miliar dan SGD9,218 ribu. Untuk
penghitungan biaya jasa tambat yang ditilep perusahaan yang dipimpin
Jong Hua itu, BPK merujuk kepada data dari Kantor Pelabuhan Batam dan
otorita Batam. Tidak hanya menemukan setoran yang digasak ke kas negara,
BPK juga menemukan sejumlah penyimpangan lainnya. Seperti proses
pemberian sejumlah zin terkait lokasi serta izin pembangunan dan
pengoperasian Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay yang melanggar
ketentuan berlaku.
Lembaga
negara itu menguak manuver CT yang bisa mengantongi izin-izin terkait
pelabuhan khusus pariwisata walaupun perusahaan itu tidak memiliki
kegiatan usaha pokok di bidang pariwisata. Tidak hanya itu, kejanggalan
lainnya ialah spesifikasi teknis Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay
tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001
tentang Kepelabuhanan. Adapun spesifikasi yang dimaksud ialah terkait
bobot kapal dan kedalaman kolam dermaga.
Upaya
manajemen CT menilep pendapatan negara diduga direncanakan secara
matang dan sistematis bersinergi dengan pihak penguasa saat itu.
Konspirasi tersebut dimulai pada 19 April 2006 saat CT mengajukan
permohonan izin operasi pelabuhan kepada Direktur Jenderal Perhubungan
Laut melalui surat No. 003/CT-PELSUS/IV/2006. Dalam tempo 6,5 bulan atau
tepatnya 3 November 2006, Menteri Perhubungan yang saat itu dijabat
Hatta Rajasa mengabulkan permohonan perusahaan tersebut.
Lewat
Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 358 tahun 2006, Hatta memberikan
izin untuk mengoperasikan pelabuhan khusus pariwisata di Desa Teluk
Jodoh, Kecamatan Batu Ampar, Batam. Namun izin itu hanyalah kamuflase.
Dalam realisasinya, CT tidak menjalankan fungsi pelabuhan khusus
pariwisata, tapi sebagai pelabuhan umum yang melayani penyeberangan
Batam-Singapura dan Batam-Malaysia. Di sinilah upaya menggasak
penerimaan negara mulai dilakukan. Manuver manajemen CT tercium oleh
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam laporan hasil
audit operasional, BPKP mengungkapkan CT dengan sengaja menyalahgunakan
izin pengoperasian pelabuhan khusus pariwisata.
Kementerian
Perhubungan yang saat itu bernama Departemen Perhubungan bereaksi.
Untuk merespons hasil audit BPKP, Sekretaris Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut pada 31 Januai 2007 mengeluarkan surat No.PU
60/118/DTPL.07 kepada Kepala Kantor Kelas I Batam untuk mengawasi
pengoperasian pelabuhan milik CT. Namun upaya itu tidak membuahkan
hasil. CT tetap memungut pass pelabuhan dan jasa tambat tanpa
menyetorkan ke kas negara.
Tindakan
itu terus berlangsung hingga akhir 2012. BPK merinci, bisnis ilegal
yang dijalankan manajemen CT tersebut menyebabkan negara menderita
kerugian atas pungutan pass penumpang sebesar Rp2,183 miliar dan
SGD9,218 ribu serta pungutan jasa tambat senilai US$59,149. Penghitungan
kerugian negara berdasarkan data penumpang yang menggunakan Pelabuhan
Harbour Bay di Kantor Imigrasi Batam. Sedangkan penghitungan biaya jasa
tambat, BPK merujuk kepada data dari Kantor Pelabuhan Batam dan otorita
Batam. PT CT yang dipimpin Jong Hua tidak hanya menghilangkan setoran ke
kas negara, BPK juga menemukan sejumlah penyimpangan lainnya.
Dalam
proses pemberian sejumlah izin lokasi, pembangunan serta pengoperasian
Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay, juga melanggar ketentuan. CT
yang mengantongi izin-izin terkait pelabuhan khusus pariwisata ternyata
tidak memiliki kegiatan usaha pokok di bidang pariwisata. Kejanggalan
lainnya menyangkut spesifikasi teknis Pelabuhan Khusus Pariwisata
Harbour Bay yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No
69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan.
"Spesifikasi dimaksud terkait bobot kapal dan kedalaman kolam dermaga," demikian laporan BPK tanpa merinci detilnya. Kejagung semula memberi status tersangka kepada Jong Hoa selaku Direktur PT CT dan melakukan pencekalan selama hampir dua tahun. Akan tetapi, terhitung 10 Desember 2012, dia sudah bisa tersenyum kembali. Saat Media Indonesia menelusuri kasus tersebut di Batam, sejumlah warga menaruh harapan kepada Jaksa Agung yang baru, Prasetyo, agar membuka kembali penyidikan dugaan korupsi di Harbour Bay. (Mhk/T-2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar