| | |
Written by anton | |
Rabu, 30 Desember 2009 ( sumber Tribun Batam, klik versi asli ) | |
Cahya Prihatin Birokrasi Impor Gula
Ironisnya, di saat harga gula menjulang tinggi, justru administrasi dan birokrasi pihak BP Batam dalam menyeleksi calon importir gula, terkesan mempersulit. “Kita ini sebenarnya mau jual birokrasi atau mau mendatangkan gula dengan harga murah. Ini untuk kedua kalinya saya kecewa, setelah proses impor beberapa waktu lalu,” ujar Cahya kepada Tribun di kantornya, Selasa (29/12). Kata-kata yang keluar dari mulut Cahya bukan tanpa alasan. Menurutnya, untuk menjadi importir gula saat ini, bukan perkara gampang. Perlu dokumen yang bertele-tele dan dianggapnya tidak selaras dengan tujuan dari impor gula itu sendiri, yakni ingin mendatangkan gula dengan harga murah. Apalagi, sambung Cahya, kesan buruknya birokrasi itu terjadi di saat Batam sudah menyandang status sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ). “Sebenarnya menurut hitung-hitungan Apindo, harga gula bisa jauh lebih murah daripada sekarang ini,” ungkapnya dengan nada kesal. “Berikan kepada Apindo, saya bisa jual jauh lebih murah,” sergahnya. Namun semua itu tidak mudah. Menurut Cahya, harus ada political will dari pemerintah terkait, untuk menjamin harga gula yang cukup murah kepada masyarakat. “Sebaiknya niatnya diubah lagi, bukan siapa yang paling lengkap dokumen, tapi sebaiknya siapa yang paling mampu untuk mendatangkan gula dengan harga murah. Itu dulu niatnya,” ungkap Cahya penuh semangat. Dia yakin dari perhitungannya, harga gula impor bisa dijual ke pasaran paling tinggi Rp 8.000 per kilogramnya. “Itu pun sudah mengacu kepada harga gula di pasaran dunia,” ujar pengusaha property asal Tanjungbalai Karimun ini. Bos pengembang perumahan Arsikon ini juga heran, kenapa harga gula sedemikian tinggi seperti sekarang ini. Padahal Indonesia termasuk sebagai negara yang memproduksi gula, bukan seperti Singapura atau bahkan Malaysia yang tidak memiliki ladang tebu. “Justru sebaliknya di Singapura, harga gula per kilogram jauh lebih murah, hanya Rp 7.000. Lantas kenapa di tempat kita harganya sangat tinggi,” ungkapnya. Kembali lolosnya PT Batam Harta Mandiri (BHM) dan BUMD PT Pembangunan Kepri sebagai importir gula, juga dipertanyakan. Tidak tertutup kemungkinan adanya praktik monopoli karena pada waktu lalu, ujung-ujungnya hanya PT BHM yang melaju seorang diri sebagai importir mobil. Menanggapi hal ini, Cahya belum mau berkomentar banyak. “Kalau masalah itu silakan nilai sendiri,” ungkapnya. Ia menambahkan, yang paling berkepentingan dengan naiknya harga gula saat ini, tak lain adalah pekerja di Batam. “Harusnya pihak pekerja juga bisa menekan pemerintah, agar gula dijual murah. Jangan cuma bisanya demo setiap proses pembicaraan kenaikan UMK,” ungkap Cahya tanpa bermaksud menyudutkan pihak pekerja. Berliku Permasalahan gula ini di Batam cukup panjang dan berliku. Batam adalah salah satu daerah yang mendapat keistimewaan dalam proses mendatangkan si manis itu. Batam diperbolehkan mendatangkan secara impor. Beberapa waktu lalu, sekitar 2.000 ton gula impor dialokasi untuk Batam. Alasannya, gula lokal tak dapat memenuhi kuota kebutuhan dan harganya cukup tinggi. Hanya saja, masuknya gula impor tak mengubah apapun. Harga gula ternyata masih saja tinggi dan menjadi polemik di pasaran. PT BHM, importir satu-satunya pada waktu itu menjual gula akhirnya bersedia mengalokaikan sebagian gula impor untuk operasi pasar. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar