Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Jumat, 08 November 2013

Masalah Hutan Lindung Jangan Didiamkan

Jumat, 08 November 2013 ( sumber : Haluan Kepri )
 
Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Hatta Rajasa menegaskan, persoalan hutan lindung yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau khususnya Kota Batam harus segera dituntaskan. Hal itu penting mengingat Batam sudah dikenal dunia internasional sebagai kawasan industri.BATAM (HK) - Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Hatta Rajasa menegaskan, persoalan hutan lindung yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau khususnya Kota Batam harus segera dituntaskan. Hal itu penting mengingat Batam sudah dikenal dunia internasional sebagai kawasan industri.

"Ini harus kita tuntaskan segera. Ini tidak bisa didiamkan. Lebih cepat direspon lebih baik," ujar Hatta menanggapi permintaan Gubernur Kepulauan Riau H Muhammad Sani saat mengutarakan persoalan hutan di Batam pada acara Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional Tahun 2013, di Ruang Flores Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (7/11).

Pada kesempatan itu, Hatta Rajasa juga langsung mendesak pihak Kementerian Kehutanan agar segera memberi solusi masalah ini. Bukan melakukan fighting dengan alasan masing-masing untuk mempertahankan keputusan yang sudah dibuat.

"Saat ini yang terpenting adalah solusi agar masalah ini terselesaikan. Kondisi saat ini, Batam adalah kawasan FTZ (free trade zone/kawasan pelabuhan bebas dan perdagangan bebas)," kata Hatta.

Memang, lanjut Hatta, banyak kaitan tata ruang dengan hambatan pembangunan. Tapi, hendaknya tidak terbelenggu dengan aturan sehingga tidak ada solusi atas persoalan yang datang.

"Padahal peraturan itu yang membuat kan kita," kata Hatta. "Jadi, tentu saja itu bisa diselesaikan agar pembangunan bisa berkelanjutan," katanya.

Menurut Hatta penataan ruang harus menjadi solusi pembangunan. Jangan sampai tata ruang menjadikan pembangunan terbelenggu. Kehutanan mengambil peran yang sangat strategis dalam hal ini.

"Dengan isu penataan ruang yang mendapat sorotan, sangat tepat waktu kita sebagai pelaku penataan ruang jangan lagi menjadi bagian masalah dalam pembangunan. Harus menjadi solusi dan seiring dalam upaya percepatan pembangunan," kata besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Hatta yakin jika Gubernur ingin mengembangkan suatu daerah, dia paham peruntukkan suatu kawasan tentu terkait dengan ekologi, ekonomi dan sosial. "Yang bottle necking kita carikan penyelesaiannya, apalagi sifatnya strategis nasional," kata Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional ini.

"Saat ini dunia sudah tahu bahwa Batam itu kawasan industri. Tapi, oleh sebuah keputusan disebutkan kalau di situ (Batam) adalah kawasan hutan. Hal ini harus dipecahkan, bukan didiamkan dan terbelenggu dengan alasan masing-masing sehingga menganggu pembangunan yang seharusnya berkelanjutan," sambungnya.

Kata Hatta, semua pihak sudah seharusnya bersama-sama mencari solusi agar masalah ini cepat selesai. Karena, menurutnya, kalau ikut aturan tersebut, maka Provinsi Kepulauan Riau khususnya Batam harus dihutankan semua, sementara realitasnya Batam adalah kawasan industri.

"Hal-hal seperti ini, jangan lagi kita menyalahkan masa lalu, tugas kita sekarang adalah mencarikan solusi. Apabila kita mau dan bersama-sama mencarikan solusi, akan selesai semua itu," katanya.

Untuk itulah, menurut Hatta penataan ruangan in sangat penting dan terus mencarikan solusinya. Hatta ingin dalam penyusunan penataan ruang ini harus dibuat untuk peningkatan kualitas hidup masyarakaat, serta keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial.

Dalam rapat kerja itu, hadir pula Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kepala Bappenas Armida Alisyahban serta sejumlah gubernur di Indonesia. Sementara dari Kepulauan Riau, tampak selain Gubernur H Muhammad Sani, juga ada Kepala Bappeda Naharuddin serta Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Said Jaafar.

Sebelumnya, Gubernur Sani mengatakan, tata ruang sangat penting untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Untuk mempercepat penyelesaian RTRW (rencana tata ruang wilayah), kata Gubernur, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah melakukan pembicaraan intens dengan tim terpadu.

Karena itu, saat tim terpadu sudah menyelesaikan kerjanya, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah berbunga-bunga. Namun, tiba-tiba saja ternit Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 463 Tahun 2013  Tgl 27 Juli 2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan  Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan di provinsi ini.

"SK itu, membuat semua seperti menjadi layu sebelum berkembang," kata Sani.

Karena itu, Sani berharap Menko Hatta Rajasa ikut bersama-sama mencarikan solusi terhadap masalah ini. Karena sekarang para investor berpikir untuk masuk ke Batam.

"Kita harus cari jalan terbaik," kata Sani.

Sementara, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, setiap hari, manusia semakin bertambah yang berarti kebutuhan ruang juga semakin bertambah. Namun lahan tak pernah bertambah. Karena itu perlu penataan ruang.

"Penting pembangunan dengan penataan ruang. Karena itu kita melakukan percepatan Perda RTRW. Kita ingin semuanya bermuara pada penyelesaian masalah dan menunjang pembangunan berkelanjutan," kaya Djoko.

Untuk Provinsi Kepulauan Riau, kata Djoko, sudah ada aturan tentang rencana tata ruang strategis nasional yang sudah ditetapkan yaitu Perpres Nomor 87 tahun 2011.

Dampak Buruk

Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan Kepulauan Riau, Djasarmen Purba mengatakan, terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 463 sangat berdampak bagi kehidupan bermasyarakat dan pembangunan di Batam.

"Dikeluarkannya SK Menhut Nomor 463 yang memutuskan lebih dari 60 persen wilayah di Kota Batam merupakan hutan lindung, berdampak buruk pada masyarakat dan menimbulkan keresahan dari berbagai pihak," kata Djasarmen dalam seminar "Kontroversi Implementasi Penetapan Kawasan Hutan Kota Batam" yang digelar di Hotel Harmoni One di Batam Centre, Batam, Kamis (07/11).

Menurut Djasarmen, permasalahan penetapan kawasan hutan di Kota Batam sudah 20 tahun tidak terselesaikan. Ditambah lagi dengan keluarkan nya SK Menhut Nomor 463 Tahun 2013 ini, semakin menambah permasalahan baru bagi pemerintahan di daerah ini.

Sejak diterbitkan, kata Djasarmen, SK Menhut tersebut telah menimbulkan kontoversi. Dia mencontohkan dalam peta yang menjadi lampiran SK tersebut, daerah Tanjungucang, Tanjung Gudap, Batuampar, Batam Centre dan Batuaji merupakan kawasan hutan. Padahal dalam Peraturan Presiden No 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun disebutkan bahwa daerah-daerah tersebut adalah kawasan industri.

Menurut Anggota DPD dari Provinsi Kepulauan Riau tersebut, SK tersebut juga menunjuk kawasan hutan pada lokus atau areal yang terbangun berdasarkan perizinan dari BP Batam, yang didasarkan pada Pasal 11 huruf d Peraturan Presiden no 87 tahun 2011 tentang Tata Ruang Batam, Bintan dan Karimun.

"Artinya, sebelum SK Menhut 463 lahir, daerah tersebut sudah ditetapkan sebagai kawasan industri dan daerah Free Trade Zone. Tetapi mengapa sekarang dinyatakan sebagai kawasan hutan," ujarnya dengan nada tanya.

SK Menhut Nomor 463 ini, kata Djasarmen, dikeluarkan tidak berdasarkan, tidak beracuan dan memperhatikan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. Yaitu, tidak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, tentang Batam Sebagai Daerah Industri.

"Akibat dari SK Menhut ini, tentunya membatasi ruang gerak investasi dan pertumbuhan ekonomi Kota Batam yang sedang berkembang saat ini," tegasnya.

Profesor Tukirin Partomihardjo, mantan Ketua Tim Terpadu Review Tata Ruang dan Peneliti LIPI yang menjadi pembicara dalam seminar itu mengatakan, untuk mengubah kawasan hutan lindung menjadi kawasan bukan hutan lindung, harus dilihat dari segi fungsi dan tata letak yang berdasarkan kebutuhan serta peruntukkannya.

"Kalau suatu tempat itu sudah ada perkotaannya, perkampungan masyarakat, sudah ada kantor-kantor pemerintah, kantor polisi, fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya, itu semua harus dikeluarkan dari kawasan hutan lindung ataupun kawasan hutan lainnya," kata Tukirin.

Dia menegaskan, SK Menhut Menhut No 463 tahun 2013 bertentangan dengan Keppres No 41 Tahun 1973, yang memberikan hak pengelolaan lahan kepada Otoritas Batam untuk pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, peternakan dan perikanan.

"Apabila permasalahan ini terindikasi kasus yang menyangkut permasalahgan hukum, tentunya harus diselesaikan dengan cara aturan hukum. Itu merupakan amanat dari undang-undang, karena tim terpadu bekerja berdasarkan amanat undang-undang dasar yang berlaku di negara kita ini," ujarnya.

Sedangkan Ampuan Situmeang, kuasa hukum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam mengatakan, tumpang tindihnya peraturan kehutanan yang mengatur tentang kawasan hutan Kota Batam dengan penetapan Batam sebagai daerah industri membuat para pengusaha di kota ini resah dan seakan tidak mempunyai harapan.

"Banyak investasi yang seharusnya masuk ke Kota Batam, akhirnya tidak jadi masuk karena antara kebijakan Kementerian Kehutanan dan konsep Kota Batam sebagai kawasan industri terpadu ini bertolak belakang dengan kenyataannya," ungkap Ampuan.

Menurutnya, penerbitan SK Menhut Menhut No 463 tahun 2013 sarat dengan kepentingan (pemerintah) pusat. Akibatnya, sering terjadi benturan-benturan di Kota Batam tentang kepentingan dua kelompok pemerintahan.

"SK Menhut Menhut No 463 Tahun 2013 ini, jelas aturan ini melanggar Keppres No.41, tapi pemerintah semua diam bahkan ada pengusaha yang besar-besar juga diam dengan aturan ini," terang dia.

Contohnya lagi, ungkap Ampuan, pemerintahan Kota Batam dengan Otorita Batam tidak pernah selaras dalam mengambil kebijakan. Sehingga, masyarakat dan pelaku ekonomi yang ada di Kota Batam menjadi kebingungan dan selalu berdampak pada munculnya potensi konflik di lapangan," pungkasnya. (vnr/ybt/r)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar