Selasa, 26 November 2013 ( sumber : Haluan Kepri )
Bursa Ketua BP Batam
BATAM (HK) - Batam yang merupakan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ) harus terus maju dan berkembang seperti kawasan FTZ lainnya yang ada di Asia, bahkan dunia. Untuk itu, proses pemilihan ketua BP Batam yang saat ini berlangsung harus dilakukan dengan melihat kriteria bukan orangnya.
Sebagaimana diungkapkan Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Prof Umar Juoro usai mengisi seminar dan dialog working group Batam, Bintan Karimun di Hotel Batam City Condominium (BCC), Senin (25/11).
"Hambatan dalam perkembangan FTZ itu ada dua, yaitu kelembagaan dan infrastruktur. Masalah kelembagaan seperti kasus tanah (hutan lindung,red) oleh Menteri Kehutanan. Kita (KEN) membandingkan FTZ Batam dengan Malaysia, Cina dan Vietnam, mereka jelas kepastian hukumnya, sementara di BBK (Batam, Bintan dan Karimun) permasalahan yang harus diselesaikan tak diselesaikan, sehingga mereka lebih maju duluan, meskipun mereka pernah belajar ke Batam dulunya, " ujar Umar.
Untuk menggesa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, sebut Umar, diperlukan Ketua BP definitif. "Ketua BP beda dengan Ketua DK, kalau ketua DK representatif sifatnya, sedangkan ketua BP harus yang profesional. Tidak harus orang daerah, dari luar daerah tak masalah asal bisa mengelola kawasan dengan profesional. Saya pikir Pak Mustofa Widjaja kansnya masih besar, tak berarti kemudian yang lain nggak, karena menurut saya dia punya kriteria, pengalaman. Dalam pemilihan Ketua BP yang penting kriteria, kalau orangnya nomer dua," ujar Umar.
Dari segi infrastruktur, Umar menyebutkan Batam tak kalah dengan Vietnam dan Malaysia, akan tetapi Bintan dan Karimun tertinggal jauh. "Potensinya sangat besar, seperti Karimun saat ini sedang pengembangan di bidang perkapalan, itu harus diutamakan. Pengalaman kerumitan dalam kelembagaan seperti di Batam jangan sampai terulang lagi. Tentunya ini dimulai dari kejelasan BP masing-masing. BP di Bintan dan Karimun sekarang kan sifatnya klarifikasi saja. Jabatan BP Karimun dan Bintan kan diisi jabatan-jabatan di Pemda, harusnya profesional seperti di Batam. Permasalahan lainnya yaitu status kawasan industri. Batam, Bintan dan Karimun sudah jelas statusnya FTZ, yaitu kawasan usaha, ya jangan dihutankan seperti SK Menhut 463 itu. Tetapi kalau di dalamnya ada taman dan sebagainya itu wajar-wajar saja," appar Umar.
Ia juga menyoroti permasalahan yang terjadi di Batam di mana kawasan usaha kalah dibandingkan luas pemukiman. "Harusnya kawasan industri lebih luas, karena tujuannya untuk industri, bukan pemukiman, yang terjadi sekarang kan 'overlapping'," pungkasnya.
Di lokasi yang sama, DR Purba Robert Sianipar, Asissten Deputi Infrastruktur Sumber Daya Air Kemenko Perekonomian yang juga Ketua Tim Pelaksana Working Grup Kerjasama Ekonomi Indonesia-Singapura di Batam, Bintan dan Karimun menyebutkan hal serupa. Ia mengatakan ketertinggalan BBK dalam FTZ dibandingkan Vietnam, Cina dan Malaysia yang dulunya pernah belajar dari Batam karena dua hal, yaitu kelembagaan dan infrastruktur. Masalah kelembagaan seperti lahirnya Permenhut No 463.
"Focus group ini untuk melihat permasalahan yang terjadi di Batam, Bintan dan Karimun. Kita bandingkan FTZ di BBK dengan Vietnam, Cina dan Malaysia, mereka jauh lebih berkembang. Cina sekarang FTZ tidak hanya di Guanzhou, Hainan, Bijing dan lainnya sudah FTZ. Hainan misalnya, seluruh daerahnya sudah FTZ, mereka fokus pada tourism, industri elektronik yang hightech, dan sangat maju. Kita harus mengejar ketertinggalan. Karena itu masih banyak yang perlu kita lengkapi untuk maju seperti mereka," ujar Robert. (ana)
BATAM (HK) - Batam yang merupakan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ) harus terus maju dan berkembang seperti kawasan FTZ lainnya yang ada di Asia, bahkan dunia. Untuk itu, proses pemilihan ketua BP Batam yang saat ini berlangsung harus dilakukan dengan melihat kriteria bukan orangnya.
Sebagaimana diungkapkan Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Prof Umar Juoro usai mengisi seminar dan dialog working group Batam, Bintan Karimun di Hotel Batam City Condominium (BCC), Senin (25/11).
"Hambatan dalam perkembangan FTZ itu ada dua, yaitu kelembagaan dan infrastruktur. Masalah kelembagaan seperti kasus tanah (hutan lindung,red) oleh Menteri Kehutanan. Kita (KEN) membandingkan FTZ Batam dengan Malaysia, Cina dan Vietnam, mereka jelas kepastian hukumnya, sementara di BBK (Batam, Bintan dan Karimun) permasalahan yang harus diselesaikan tak diselesaikan, sehingga mereka lebih maju duluan, meskipun mereka pernah belajar ke Batam dulunya, " ujar Umar.
Untuk menggesa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, sebut Umar, diperlukan Ketua BP definitif. "Ketua BP beda dengan Ketua DK, kalau ketua DK representatif sifatnya, sedangkan ketua BP harus yang profesional. Tidak harus orang daerah, dari luar daerah tak masalah asal bisa mengelola kawasan dengan profesional. Saya pikir Pak Mustofa Widjaja kansnya masih besar, tak berarti kemudian yang lain nggak, karena menurut saya dia punya kriteria, pengalaman. Dalam pemilihan Ketua BP yang penting kriteria, kalau orangnya nomer dua," ujar Umar.
Dari segi infrastruktur, Umar menyebutkan Batam tak kalah dengan Vietnam dan Malaysia, akan tetapi Bintan dan Karimun tertinggal jauh. "Potensinya sangat besar, seperti Karimun saat ini sedang pengembangan di bidang perkapalan, itu harus diutamakan. Pengalaman kerumitan dalam kelembagaan seperti di Batam jangan sampai terulang lagi. Tentunya ini dimulai dari kejelasan BP masing-masing. BP di Bintan dan Karimun sekarang kan sifatnya klarifikasi saja. Jabatan BP Karimun dan Bintan kan diisi jabatan-jabatan di Pemda, harusnya profesional seperti di Batam. Permasalahan lainnya yaitu status kawasan industri. Batam, Bintan dan Karimun sudah jelas statusnya FTZ, yaitu kawasan usaha, ya jangan dihutankan seperti SK Menhut 463 itu. Tetapi kalau di dalamnya ada taman dan sebagainya itu wajar-wajar saja," appar Umar.
Ia juga menyoroti permasalahan yang terjadi di Batam di mana kawasan usaha kalah dibandingkan luas pemukiman. "Harusnya kawasan industri lebih luas, karena tujuannya untuk industri, bukan pemukiman, yang terjadi sekarang kan 'overlapping'," pungkasnya.
Di lokasi yang sama, DR Purba Robert Sianipar, Asissten Deputi Infrastruktur Sumber Daya Air Kemenko Perekonomian yang juga Ketua Tim Pelaksana Working Grup Kerjasama Ekonomi Indonesia-Singapura di Batam, Bintan dan Karimun menyebutkan hal serupa. Ia mengatakan ketertinggalan BBK dalam FTZ dibandingkan Vietnam, Cina dan Malaysia yang dulunya pernah belajar dari Batam karena dua hal, yaitu kelembagaan dan infrastruktur. Masalah kelembagaan seperti lahirnya Permenhut No 463.
"Focus group ini untuk melihat permasalahan yang terjadi di Batam, Bintan dan Karimun. Kita bandingkan FTZ di BBK dengan Vietnam, Cina dan Malaysia, mereka jauh lebih berkembang. Cina sekarang FTZ tidak hanya di Guanzhou, Hainan, Bijing dan lainnya sudah FTZ. Hainan misalnya, seluruh daerahnya sudah FTZ, mereka fokus pada tourism, industri elektronik yang hightech, dan sangat maju. Kita harus mengejar ketertinggalan. Karena itu masih banyak yang perlu kita lengkapi untuk maju seperti mereka," ujar Robert. (ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar