Senin, 10 Agustus 2015 (Sumber: Batam Pos)
batampos.co.id – Sejak diresmikan pada 2009 silam,
implementasi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (FTZ) di Batam,
Bintan, dan Karimun (BBK) belum berjalan optimal. Persoalan lahan
dituding menjadi masalah utama yang mengganjal pertumbuhan investasi di
kawasan FTZ BBK ini.
Terlebih, baru-baru ini Kementerian Perhutanan (Kemenhut) yang
menetapkan sebagian besar lahan di Batam berstatus hutan lindung.
Padahal sebagian besar kawasan tersebut telah berkembang sebagai kawasan
industri, pemukiman, dan kawaasan yang akan dibangun menjadi pelabuhan
kontainer, seperti lahan di Pulau Tanjung Sauh.
“Masalah ini diperkeruh dengan tumpang tindih penguasaan lahan,” kata
Wakil Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Jon Arizal, saat diskusi
dengan Kamar Dagang Industri (Kadin) Kepri di Hotel Allium, Jodoh,
Batam, kemarin (6/8).
Kata Jon, masalah status lahan ini memang kerap mengemuka dalam
berbagai forum dan diskusi dengan pengusaha. Selain masalah lahan,
pegusaha sering mengeluhkan sejumlah persoalan klasik yang tak kunjung
selesai seperti masalah regulasi, perizianan, dualisme kepemimpinan, dan
masalah infrastruktur.
“Ada lima hal penting yang kami sadari harus diperbaiki untuk membuat
industri nyaman, yakni perbaikan di bidang infrastruktur, regulasi,
insentif, sumber daya manusia, dan keamanan,” ujar Jon.
Saat ini menurut Jon, ada dua faktor yang menghambat pertumbuhan
industri di Batam yakni faktor internal yang datang dari pengelola FTZ
dan faktor eksternal dari luar pengelola FTZ.
Faktor internal antara lain kompleksitas kelembagaan BP Batam dan
tata kelola yang belum cukup baik. Sedangkan faktor eksternal antara
lain tumpang tindihnya pengelola FTZ Batam antara BP Batam, Pemko Batam,
dan instansi vertikal pemerintah pusat di BP Batam.
“Termasuk banyaknya demonstrasi buruh yang berjalan anarkis dalam menuntut perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja,” katanya.
Dalam diskusi ini, ada sejumlah alternatif solusi yang ditawarkan
untuk perbaikan pengelolaan FTZ antara lain review regulasi FTZ dan
diperlukan simplifikasi untuk kepastian hukum investor.
Kemudian, koordinasi antarinstansi pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah serta komunikasi dengan pihak pengusaha yang lebih baik.
Selanjutnya, moratorium pemberian izin alokasi lahan baru karena banyak
lahan yang dikuasai namun belum ada komitmen untuk melakukan investasi.
Lalu, melakukan pembatasan (enclave) daerah pemukiman dan enclave
daerah industri. Untuk enclave daerah permukiman akan menjadi wewenang
Pemko Batam, sedangkan enclave daerah industri akan menjadi wewenang BP
Batam. Ketentuan FTZ hanya berlaku pada enclave daerah industri. Solusi
ini memerlukan perubahan PP 46/2007 jo PP 5/2011 yang mengatur batas
wilayah FTZ Batam.
“Hal lain yang diperlukan adalah menata kembali tata kelola Batam dan
memprioritaskan alokasi sumber daya dan infrastruktur bagi industri,”
tambah Jon.
Jon mengatakan, permasalahan ini akan dibawa sampai ke Kadin pusat
agar bisa ditemui titik cerah agar pertumbuhan investasi di Batam
meningkat pesat.
Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan Mediasi Kadin Kepri, Ampuan
Situmeang, mengatakan persoalan-persoalan yang ada merupakan masalah
klasik yang tak kunjung usai. Untuk itu dia meminta Presiden Joko widodo
(Jokowi) turun langsung mengatasi persoalan ini.
“Permasalahan ini sudah ada sejak 10 tahun lalu. Tapi kalau yang
menangani hanya para menteri, tidak akan pernah selesai,” katanya.
Sementara Ketua Umum Kadin Kepri, Akhmad Ma’ruf Maulana, mengatakan
perlu dilakukan penyempurnaan berbagai regulasi yang menjadi dasar
pelaksanaan FTZ di BBK. Antara lain penguatan peran dan fungsi dewan
kawasan BBK yang pelaksanaannya harus secara jelas dan tegas diberikan
kewenangan sebagaimana pelaksanaan dewan kawasan di Sabang dengan PP 82
tahun 2010.
Kemudian, Ma’ruf menilai perlu mengubah komposisi personalia dewan
kawasan. Dimana ketuanya dimandatorikan kepada Menteri Perdagangan dan
Industri.
“Pemerintah juga harus menyempurnakan tata ruang BBK sesuai Keppres
87 tahun 2011, karena pada kenyataannya BBK belum memiliki tata ruang
wilayah secara pasti,” tambah Ma’ruf.
Selain itu, perlu juga dilakukan bentuk FTZ berbeda-beda untuk
kawasan BBK. Karena pada saat ini, ada yang bersifat enclave dan ada
yang bersifat hole island, namun pola kerjasamanya sama dengan pola
enclave dan aturan kepabeanan umum, sehingga tidak bisa memberikan
kepastian dalam sistem ekspor dan impor.
“Untuk itu perlu dilakukan seluruh wilayah BBK bentuk FTZ whole island atau menyeluruh,” saran Ma’ruf.
Saat ini, kata Ma’ruf lagi BP kawasan BBK belum mampu bekerja secara
optimal dan berharap bisa mengikutsertakan Kadin sebagai rekanan.
Posisi Kepri saat ini sangat tepat disebut sebagai pemilik usaha
galangan kapal terbesar di Indonesia, dan untuk itu sangat diharapkan
pemerintah pusat dapat menjadikan dan menetapkan Kepri sebagai bagian
dari pusat pembangunan kapal yang sangat memerlukan tol laut.
“Jadi, kami sangat berharap pak Jokowi dapat mewujudkan Kepri sebagai
poros maritim karena kondisinya yang terdiri dari 99 persen perairan
dan 4 persen daratan,” pungkas Ma’ruf.
Sebelumnya, Wakil Ketua Kadin Kepri Bidang Perdagangan dan Jasa, Amat
Tantoso, juga pernah menyampaikan pentingnya kejelasan status lahan di
kawasan FTZ BBK. Dia juga menyarankan pemerintah pusat segera mencabut
status quo lahan di Rempang dan Galang (Relang). Pasalnya lahan
merupakan salah satu modal penting untuk menambah investasi asing karena
lahan yang ada di kawasan mainland pulau Batam telah habis
dialokasikan.
Hal senada juga disampaikan Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan. Menurut
dia, jika status quo lahan di Relang dicabut, dapat dipastikan investasi
akan tumbuh pesat. Menurut dia, kawasan Relang merupakan kawasan
penyangga yang dapat dibuka untuk kawasan industri Batam.
“Coba kalau Rempang dan Galang itu dibuka, itu luar biasa (permintaan investasi),” kata Dahlan, belum lama ini. (rna/spt/bpos).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar