Menurut Nur, ia sebenarnya merasa teraniaya dengan posisinya sebagai pimpinan dalam proyek pengadaan dua unit mobil damkar tersebut. Sebab, ia harus bekerja bertentangan dengan hari nurani.
Begitu juga dalam proses menyangkut anggaran yang akan digunakan untuk membiayai proyek pengadaan mobil damkar tersebut. Nur juga menyatakan keberatan kalau proyek itu dimasukkan dalam anggaran tahun berikutnya. Sementara pada pembahasan anggaran yang dilaksanakan sebelumnya, tidak dianggarkan.
Terkait adanya dugaan kerugian negara dalam pengadaan dua unit mobil damkar hingga mencapai Rp2,2 miliar lebih, Nur justru menyatakan sebaliknya. Menurutnya, dari pengadaan dua unit mobil damkar tersebut, ia telah melakukan beberapa penghematan. Sehingga dapat menyelamatkan uang negara sekitar Rp600 juta.
Tersangka menjelaskan, bahwa saat itu harga dua unit mobil yang ditawarkan oleh PT Satal Nusantara sebagai distributor yang ditunjuk adalah Rp10,7 miliar. Selaku pimpinan proyek, tersangka menawar hingga akhirnya disepakati harga mobil tersebut Rp10,1 miliar.
"PT Satal juga pernah menawarkan dengan harga Rp10,5 miliar, tapi dia terima bersih Rp10,1 miliar. Kalau saya mau korupsi, bisa saja saat itu saya menyetujuinya," ungkapnya.
Sementara pada sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rizky Hidayatullah tetap menyatakan adanya kerugian negara dalam proses pengadaan dua unit mobil damkar OB. JPU pun akhirnya menuntut terdakwa dengan hukuman 5 tahun 6 bulan penjara, serta denda Rp250 juta supsider 6 bulan kurungan.
Ketua tim kuasa hukum terdakwa, Sastra Rasa menyatakan, tuntutan jaksa yang diajukan dinilainya tidak tepat. Karena apabila mencermati jalannya persidangan, tidak ada seorangpun saksi yang menyatakan terdapat kerugian negara dalam pengadaan dua unit mobil damkar tersebut.
"Harusnya jaksa melihat dari awal proses pengajuan hingga pembelian damkar disetujui OB. Bukan hanya bermula pada rapat tanggal 18 Februari 2005 di OB saja," katanya. (sm/33)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar