| | | |
Ditulis oleh Redaksi , Rabu, 30 Juni 2010 09:19 (sumber Batam Pos,versi asli) |
Cahya Tengarai Ada Deal Angka Kenaikan Pajak Daerah BATAM CENTRE (BP) - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri Cahya menegaskan rencana Pemko Batam akan menaikkan pajak daerah ranperda mengancam free trade zone (FTZ), sekaligus membuat Batam tidak lagi kompetitif dengan daerah lain. Pasalnya, kenaikan pajak itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Cahya juga menengarai ada deal terkait besaran angka kenaikan pajak daerah. Bahkan Apindo sudah mengumpulkan data di lapangan, termasuk dari sumber terkait rencana pembahasan pajak daerah itu. ”Kita memang diundang Pansus, tapi Apindo, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan asosiasi lain tidak menghadiri rapat jika membahas butir-butir kenaikan pajak daerah. Kalau Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kan memang dari pusat yang dilimpahkan ke daerah, tapi kalau pembahasan butir-butir pajak kita tolak,” kata Cahya kepada wartawan saat konferensi pers di Batam Centre, kemarin (29/6). Cahya mengaku bahwa Pansus juga minta agar pengusaha mengajukan kajian hukum. ”Pengusaha tak ada kajian hukum, yang mengajukan itu kan pemerintah. Kalau pengusaha itu punya hukum ekonomi. Misalnya harganya Rp100 dijual Rp110, atau harga barang Rp1.000 dijual Rp1.100,” kata Cahya mengilustrasikan. Semestinya, kata Cahya besaran kenaikan pajak yang tinggi itu harus dikaji dampaknya. ”Apakah harga di Batam nantinya akan kompetitif dibanding daerah lain atau tidak, itu harus dikaji. Karena ekonomi biaya tinggi yang terjadi di Batam justru akan memberatkan masyarakat,” tegasnya. Dalam kesempatan itu, Cahya juga mengungkapkan pernyataan anggota Pansus Ranperda Pajak-Pajak Daerah yang mengatakan bahwa pembahasan pajak itu masih sebatas fondasi dan belum ke angka hanya dalih semata. Pasalnya, Cahya mengaku memperoleh informasi dari sumber yang mengatakan bahwa sejak jauh hari sudah ada deal angka kenaikan. ”Sumber itu mengatakan bahwa Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU) yang saat ini besarnya 4 persen, sudah ada deal akan naik jadi 5 persen. Begitu pula pajak hiburan yang besarannya 15 persen akan naik jadi 20-25 persen. Kalau memang tidak ada deal-deal-an, kenapa angka itu sudah ada? Kita akan lihat hasil akhirnya,” urainya. Soal PPJU, kata dia sebenarnya warga yang tinggal di perumahan sudah membayar pajak dobel. Pasalnya, mereka sudah membayar pajak penerangan jalan ke developer, baru kemudian developer membayar ke PLN. “Warga membayar dobel pajak, karena warga perumaha sudah membayar ke developer, kemudian membayar PPJU yang besarnya 4 persen lagi,” katanya mengungkap beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Selain itu Cahya juga mengungkap fakta bahwa besaran PPJU sebesar 4 persen itu, ternyata jauh lebih tinggi dibanding Jakarta. ”Di Jakarta, PPJU cuma 2,8 persen,” urainya. Cahya menambahkan bahwa Pemko setiap tahun menerima pemasukan dari PPJU sebesar Rp50 miliar. Jumlah itu, kata dia sangat besar sehingga tidak ada alasan bagi Pemko untuk menaikkan lagi pajak daerah. “Kalau dibilang Pemko membangun 5.000 lampu jalan pun, anggarannya tidak sampai Rp20 miliar. Masa Pemko sudah memperoleh pendapatan besar dari PPJU, tapi masih mau menaikkan pajak,” tanyanya heran. Ia mengaku bahwa pembangunan 5.000 titik jalan itu juga tak bisa mengcover kebutuhan di kawasan utama di Batam sekalipun. ”Bahkan di Ocarina pun, yang pasang lampu jalan kita. Padahal itu kawasan wisata yang dibanggakan di Batam, tapi pemerintah tak membantu sehingga harus kita pasang sendiri,” tegasnya. Pada bagian lain, Cahya juga mengungkapkan bahwa pajak hiburan di Batam juga masih lebih tinggi dibanding Bali sekalipun. Bali, lanjutnya pajak hiburannya cuma 10 persen. Sementara di Batam pajak hiburannya mencapai 15 persen. ”Ini sudah pula mau dinaikkan lagi menjadi 20-25 persen. Semestinya pajak hiburan di Batam turun ke angka 10 persen, bukan naik lagi,” cetsunya. Apindo, tambahnya tidak bisa menerima alasan Pemko menaikkan pajak daerah. Pasalnya, APBD Kota Batam sama sekali tidak mengalami defisit. ”Apalagi, Pemko juga akan menerima tambahan pemasukan dari PBB dan BPHTB yang jumlahnya bisa mencapai Rp200 miliar,” paparnya. Selain meminta pajak tidak dinaikkan, Cahya juga menyarankan agar pajak yang tidak bisa dipungut agar dihapus. Termasuk pajak pergelaran fesyen yang dipungut pajak hingga 75 persen. “Misalnya pajak tontonan olahraga dan kesenian daerah dan fesyen itu, sebaiknya dihilangkan. Saat ini waktunya belum tepat, lihat perkembangan dulu,” paparnya. Pemko, tegasnya harus secara gentlemen menghapus pajak yang tidak bisa dipungut. “Kalau tidak disimpulkan bahwa Batam merupakan kota ekonomi biaya tinggi dan dianggap tak kompetitif,” katanya. Penghapusan pajak daerah yang tidak bisa dipungut karena membuat ekonomi biaya tinggi, lanjut Cahya mengacu [ada Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 188.34/17/SJ perihal Penataan Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tertanggal 5 Januari 2010. ”Di butir 2 SE Mendagri itu disebutkan bahwa Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, membuat ekonomi biaya tinggi dan menghambat peningkatan iklim investasi di daerah serta materi muatannya tidak termasuk secara limitatif diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang PDRB segera dihentikan pelaksanaannya dan dicabut,” paparnya. Mengacu pada SE Mendagri itu, tambahnya pajak olahraga dan pajak kesenian daerah sebaiknya dinolkan saja. “Begitu pula pajak hiburan turun dari 15 persen jadi 10 persen. “Saat ini ekonomi tidak bagus dan pengusaha bertahan untuk tidak bangkrut. Pemerintah juga semestinya mencari PAD dari sumber lain. Kita kan sudah mengajukan cara lain menaikkan PAD,” paparnya. Ditanya upaya lain yang bisa ditempuh Pemko untuk memperoleh tambahan PAD, lanjutnya, yaitu dari permohonan izin Makanan Luar (ML). “Kalau pengusaha mengajukan ribuan izin makanan luar (ML), maka PAD dari permohonan izin jumlahnya puluhan hingga ribuan miliar. Batam juga bergairah lagi, karena produk beragam dan wisatawan lokal dan mancanegara yang datang ke Batam punya pilihan produk yang dibeli. PAD itu tidak hanya dari pajak, tapi bisa dari sumber lain,” pungkasnya. Wako: Dewan Tak Sebut Substansi Wali Kota (Wako) Batam Ahmad Dahlan mengungkapkan, dewan meminta agar Pemerintah Kota (Pemko) Batam memperdalam materi Ranperda Pajak-Pajak Daerah. Namun, Wako mengaku dewan tak menyebutkan substansi materi ranperda yang harus diperdalam tersebut. Hal tersebut dikatakan Wako Batam Ahmad Dahlan kepada wartawan usai Rapat Paripurna di gedung DPRD Batam, Batam Centre, kemarin (29/6). Wako melanjutkan, pimpinan dewan dan fraksi sepakat untuk menunda pembahasan pajak-pajak daerah. ”Selanjutnya, perlu pembahasan lagi, tapi dewan juga perlu memberi masukan tentang aspek apa lagi yang perlu diperdalam. Karena ini kan menyangkut konstitusional antar lembaga,” lanjut Dahlan. Ketika ditanya kesan kurang harmonisnya hubungan dewan dan Pemko Batam akibat penolakan pembahasan Ranperda pajak daerah itu, Wako menampiknya. ”Kita harus melihat secara objektif, cool dan arif. Perbedaan pendapat itu merupakan hal yang biasa-biasa saja,” tambahnya. Disinggung mengenai penolakan pembahasan Ranperda lain oleh dewan, Wako lagi-lagi membantahnya. ”Kalau ada informasi seperti itu (penolakan pembahasan ranperda lain, red), harus diklarifikasi. Sebagai governance, pemerintahan itu kan legislatif dan eksekutif. Bagaimana pemerintahan bisa jalan jika sudah seperti itu,” tanyanya. Sementara itu, juru bicara Partai Demokrat Helmy Hemilton yang menyampaikan pandangan fraksi Partai Demokrat pada rapat paripurna, kemarin mengaku bahwa Partai Demokrat memang meminta perlunya kajian akademik yang lebih mendalam terhadap ranperda yang diajukan Pemko. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar