Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Cahya mengatakan hingga saat ini, ribuan sertifikat tanah masih tertahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Sampai saat ini belum ada penyelesaiannya,” kata Cahya kepada Batam Pos, kemarin. Cahya sendiri sebelumnya pernah mengingatkan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan BPN Batam untuk proaktif menuntaskan masalah ini dengan meminta Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan. “Instansi terkait jangan menunggu,” tukasnya. Menurut dia, jika tidak segera dituntaskan, masalah lahan di Batam akan berlarut-larut. Selaku Ketua Apindo, Cahya telah berinisiatif menghadap Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. “Sudah bikin janji ketemu langsung dengan Menhut habis Lebaran. Ya, dalam waktu dekat inilah saya akan ke Jakarta,” ungkapnya. Kepala Bidang Tata Usaha Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batam, M Thamsil membenarkan masih tertahannya ribuan sertifikat rumah ini karena tersangkut kasus lahan hutan lindung. Sertifikat itu baru bisa dikeluarkan setelah SK Menhut soal perubahan status itu keluar. Kendati demikian, Thamsil mengingatkan konsumen yang sertifikatnya tertahan tidak perlu khawatir, karena pemerintah pusat punya komitmen menyelesaikan masalah lahan ini. Komitmen itu terungkap pada pertemuan Gubernur Kepri HM Sani dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Radjasa, pada rapat koordinasi (rakor) tentang pelaksanaan free trade zone (FTZ) di Batam, Bintan dan Karimun (BBK) di Kementrian Koordinator Perekonomian, 12 Agustus lalu. Saat itu, Hatta mengatakan, areal yang sudah digunakan untuk keperluan industri dan perumahan akan diproses lahan pengantinya, supaya ada kepastian bagi masyarakat dan investor yang ada di Batam. Bahkan, mantan Menteri Sekretaris Negara itu mengatakan, ada kajian hukum yang dilakukan oleh Deputi Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Negara dengan melibatkan interdep. Kajiannya menyatakan areal bekas hutan di Batam bisa dilepaskan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang hadir dalam rakor tersebut juga meyakinkan, bahwa lahan seluas 2235,5 hektar di Batam yang awalnya kawasan hutan, sudah ada lahan penggantinya. Bahkan, kata Zulkifli, luas lahan penggantinya kurang lebih 4.000 hektar. Tinggal di-SK-kan saja. Saat itu, Zulkifli juga mengatakan, tumpang tindihnya areal hutan dengan kawasan industri di Batam sebenarnya sudah ada solusi berupa persetujuan untuk pelepasan hutan dari Komisi Kehutanan DPR yang keluar pada 2006. Hanya saja, pada 2007 terbit UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. “Karena menteri kehutanan menjanjikan akan segera di-SK-kan, maka kita tunggu SK itu. Begitu keluar, maka semua sertifikat yang tertahan di BPN akan segera kita keluarkan. Jadi mohon sabar,” pinta Thamsil. 20.000 Sertifikat Bisa Diagunkan
Ribuan sertifikat yang masih tertahan di BPN ini, bukan termasuk dalam kasus 20.000 sertifikat lahan warga Batuaji yang juga terganjal hutan lindung dan sempat tak bisa diagunkan. Keduanya berbeda. Untuk masalah 20.000 sertifikat yang sempat menuai demo warga, menurut BPN sudah tak ada masalah. Sudah bisa diagunkan ke bank. “Sebenarnya sertifikat yang kita keluarkan sudah bisa diagunkan dari dulu karena itu sah. Tapi bisa tidaknya, tergantung pihak bank, kalau pihak bank percaya pada konsumennya, tentu sertifikat yang diagunkan diterima bank,” ujar Thamsil kepada Batam Pos, Rabu (15/9). Kalaupun masih ada sertifikat yang tidak dapat diagunkan, Thamsil menyarankan konsumen berkonsultasi dengan pihak bank. “Kalau dari kita tidak masalah. Sekali lagi itu sah,” ujarnya. BPN juga sudah menghimbau kepada bank-bank di Batam supaya percaya pada sertifikat yang dikeluarkan BPN tersebut karena itu sah. ”Kami Bukan Monyet Lagi”
Kelarnya kasus 20.000 sertifikat rumah ini, disambut gembira warga Batuaji. Ungkapan keceriaan warga Batuaji tersebut seakan tak bisa disembunyikan. Hal itu terlihat dari tiga sepanduk yang terpajang lebar di tiga simpang di daerah Batuaji, yaitu simpang Unrika, simpang Hidayatullah, dan simpang MKGR. Ada yang menggelitik dan menarik dengan kata-kata yang tertera di spanduk tersebut. Selain ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri dan ucapan syukur atas tercapainya keinginan warga akan sahnya tanah di daerah Batuaji menjadi lahan perumahan juga terselip kata-kata “monyet” di spanduk. Isi spanduk ini, ”Lebaran... lebaran. Alhamdulillah lebaran ini warga Batuaji bukan “monyet” lagi. Tanah dan bangunan kita sudah resmi, bukan hutan lindung lagi bro. Hormat tim 15” ”Spanduk itu merupakan luapan kegembiraan warga yang selama ini rumahnya di daerah hutan lindung, seperti monyet,” jelas pimpinan Tim 15, Syahrial Lubis, kemarin. Kata-kata ini menurut Syahrial Lubis sebagai kiasan bahwa selama ini pemerintah menganggap warga Batuaji sebagai monyet yang hidup di hutan lindung. Sedangkan kata selamat Idul Fitri sebagai ungkapan rasa syukur atas tercapainya perjuangan mengesahkan sertifikat sebagai surat sah yang bisa diagunkan di bank. Bermasalah Sejak 1984
Sekadar mengingatkan kembali, masalah pertanahan di Batam sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1984 atau di awal-awal pengelolaan pulau ini oleh Otorita Batam. Saat itu, aturan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan cukup fleksibel. Perubahan kawasan hutan menjadi kawasan pemukiman, bisnis maupun pusat pemerintahan tak perlu proses panjang. Hingga kemudian, terbitlah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang baru. Di undang-undang ini, aturan alih fungsi hutan cukup pelik. Ada embel-embel harus atas persetujuan DPR. Inilah yang kemudian menjadi masalah. Sebagian besar lahan hutan lindung yang sudah dialokasikan OB ke pengembang sebagai pemukiman dan pusat bisnis, bahkan di atasnya sudah berdiri puluhan ribu unit rumah, ternyata pengalihan fungsinya belum disetujui pemerintah dan DPR. Jadilah, rumah-rumah itu, meski sebagian sudah bersertifikat, masih terindikasi berdiri di atas lahan hutan lindung. Data yang diperoleh Batam Pos, ada sekitar 20 titik HPL yang terindikasi masuk kawasan hutan lindung atau wisata. Seperti masuk ke kawasan hutan lindung Batuampar, hutan wisata Mukakuning, hutan lindung Bukit Dangas, hutan lindung Seiladi, hutan lindung Tiban, hutan lindung Baloi dan lainnya. Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan oleh Real Estate Indonesia (REI) Batam. Bahkan, Mulia Pamadi selaku Ketua REI Batam sudah mengkomunikasikannya dengan Ketua Umum DPP REI Teguh Satria. Teguh pun kemudian meminta pemerintah pusat segera ada payung hukum masalah tersebut karena ternyata kasus yang sama juga banyak terjadi di tempat lain, seperti di Kalimantan. Sekadar diketahui juga, pertumbuhan properti di Batam sangat cepat jika dibandingkan kabupaten/kota lain di Kepri. Setiap tahun, berdiri sekitar 10 ribu hingga 12 ribu unit rumah. Selain karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, sektor properti ini juga didukung ketersediaan air dan listrik yang memadai. Namun sejak 2006-2007, saat masalah sertifikat ini muncul, pertumbuhan perumahan turun di bawah 10 ribu unit per bulan. Kemudian berlanjut dengan krisis ekonomi global di tahun 2008. Saat itu, suku bunga tinggi dan bank memperketat persetujuan KPR. Di awal 2009, suku bunga masih tinggi sekitar 12 hingga 13,5 persen. Mulia optimis, jika masalah perumahan di hutan lindung ini selesai, bisnis properti di Batam akan kembali bergairah. Ia melihat banyak indikator, seperti adanya tren penurunan suku bunga, kurs rupiah yang stabil. Apalagi saat ini FTZ sudah berjalan. (cha/cr2/ara/nur/med) |