"Ada kegalauan melihat Batam. Batam berdekatan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Batam punya potensi, kenyataanya Batam tertinggal dari mereka," ujar Agus dalam Dialog Prospek Investasi di Batam, Senin (7/3). Dialog yang diadakan di Hotel Planet Holiday, Sei Jodoh, Batam, itu diikuti puluhan pengusaha.
Salah satu indikatornya, menurut Agus, adalah volume bongkar-muat peti kemas. Menurut Menkeu, volume bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Batuampar saat ini masih sekitar 200.000 teus per tahun. Sementara Pelabuhan Klang dan Tanjung Pelepas di Malaysia masing-masing sudah mencapai 8 juta teus dan 6 juta teus per tahun. Bahkan Singapura telah mencapai 38 juta teus.
Menkeu yang sempat berkunjung ke Pelabuhan Batuampar juga menilai pelabuhan kargo itu masih jauh tertinggal. Di pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai pelabuhan bebas guna mendukung status Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (Free Trade Zone/FTZ) tersebut, belum ada crane milik pemerintah, lampu penerangan minim, jalan rusak, dan masih bercampur-aduknya bongkar muat antara barang kemasan konvensional dan peti kemas.
Padahal, Agus melanjutkan, berbagai indikator terkait iklim penanaman investasi di Indonesia menunjukkan tren positif. Hal itu antara lain tampak dengan sehatnya kondisi neraca pembayaran negara, fiskal, pasar modal, dan perbankan. "Potensi Batam besar, tapi kalau tidak segera memprioritaskan dengan baik dan tidak benar-benar mengeksekusinya, maka hasilnya juga tidak akan baik," kata Agus.
Indonesia, lanjutnya, memiliki 4 kawasan FTZ, yaitu Batam, Bintan, Karimun dan Sabang di Aceh. Perkembangan perekonomian Indonesia 10 tahun terakhir telah menunjukkan angka yang cukup bagus. Tahun 1997-1998, Indonesia terkena krisis ekonomi yang sangat buruk, kemudian tahun 1999-2004, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus dengan angka 3,9 persen. Tahun 2005, ekonomi kembali tumbuh 5 %, bahkan saat terjadi krisis global tahun 2009, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,6 %. Sekarang perekonomian Indonesia tumbuh di atas 6 %, bahkan tahun 2011 ini pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 -4,9%.
"Perekonomian dunia 2011 cenderung membaik. Energi market-nya adalah Asia. Selain Cina dan India, energi market itu berasal dari Asean, Indonesia adalah salah satu negara yang memegang peranan ini. Potensi Indonesia sangat besar. Jika Indonesia mau berkembang, salah satu penentunya adalah Batam. Karena itu saya ingin mendengar aspirasi pengusaha-pengusaha agar Batam lebih siap menjadi tujuan investasi," ujar Agus.
FTZ, sebut Agus, seharusnya merupakan suatu lokasi yang benar-benar steril dengan fasilitas memadai. Pelabuhan misalnya, di Batam pelabuhan terlalu banyak, belum aman dari kegiatan-kegiatan penyeludupan. Selain itu, Pelabuhan Batuampar sebagai salah satu pelabuhan bongkar muat terbesar di Kepri fasilitasnya belum memadai.
"Penggerak ekonomi Indonesia adalah konsumtif, investasi dan ekspor. Infrastruktur merupakan tantangan utamanya, yaitu jalan, pelabuhan dan bandara. Meskipun Indonesia butuh infrastruktur, namun kita tetap harus menjaga dana agar tetap credible dan tidak melebihi kemampuan. Salah satunya dengan cara mengajak swasta untuk ambil bagian. Dari Kementerian Keuangan, kita siap memberikan jaminan," ujar Agus.
Tren perkembangan ke depan, sebutnya, akan lebih cepat dari perkiraan. Karena itu, Indonesia harus menangkap peluang-peluang yang ada lebih cepat dengan memperbaiki policy. "Potensi Batam besar, tapi kalau tidak ada yang diprioritaskan, maka pertumbuhannya tidak akan sesuai harapan," sebut Agus lagi.
Banyak Hambatan
Dalam kesempatan itu, pengurus Kadin Provinsi Kepri Ampuan Situmeang meminta Menkeu untuk memperjelas aturan-aturan yang ada di Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun (FTZ BBK). Selama ini, kata Ampuan, pelaksanaan di lapangan antara peraturan Dewan Kawasan (DK) FTZ BBK dengan kewenangan BC saling bertabrakan. Akibatnya pengusaha mendapat kesulitan-kesulitan.
Ketua Dewan Penasehat Apindo Kepri Abidin Hasibuan mengatakan pelaksanaan FTZ di Batam masih banyak hambatan. Seperti halnya membawa barang bukan baru yang dikenakan satification yang cukup mahal. Padahal, investasi tidak hanya bicara investasi baru tetapi juga relokasi.
Dalam kesempatan itu, Abidin juga meminta pemerintah pusat mengendalikan nilai rupiah agar tidak terus menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Menurutnya, penguatan rupiah atas dolar AS mengancam pengusaha Batam yang mayoritas berorientasi pada ekspor. "Kami khawatir, kalau rupiah menguat pengusaha Batam terpukul," katanya.
Saat ini, kata dia, pengusaha sudah sulit dengan nilai tukar Rp8.700 per satu dolar AS. Bila rupiah menyentuh level Rp8.000, Abidin memperkirakan akan banyak perusahaan yang mati. "Kalau rupiah Rp8.000 per dolar, ekspor bisa rugi. Dan kalau di bawah Rp8.000, perusahaan bisa kolaps," kata bos PT Sat Nusapersada Tbk itu.
Menurut dia, perusahaan di Batam hanya bagaikan tukang jahit yang menerima pesanan dari luar negeri. Seluruh bahan baku diperoleh dari luar negeri. Begitu pun hasil akhir dijual ke luar negeri. "Dibandingkan dengan pengusaha Jakarta, kami tidak ada untuk domestik," kata dia.
Abidin juga mengeluhkan mahalnya tarif listrik untuk industri dan bisnis di Batam. Menurut dia, listrik untuk industri dan bisnis di Batam mahal karena pengusaha harus mensubsidi silang tarif listrik masyarakat dan sosial. Padahal di daerah lain seperti Jakarta, kata dia, subsidi untuk masyarakat ditanggung oleh pemerintah.
Menurut Abidin, tarif listrik untuk industri dan bisnis di Batam masing-masing lebih tinggi 50 persen dan 30 persen dibanding Jakarta. Abidin mengatakan permasalahan ini telah disampaikan pengusaha kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui (mantan) Gubernur Kepri Ismeth Abdullah. Namun sampai sekarang belum juga ada kejelasan.
Hengky Suryawan, pengusaha shipyard dan pelayaran mengeluhkan besarnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan saat barang telah masuk ke daerah. "Biaya transport dari negara lain ke kita hanya 30%, justeru biaya transportasi dari kita ke daerah sampai 70%," ujar Hengky.
Hengky juga mengeluhkan buruknya infrastruktur jalan. "Sudah 10-15 tahun jalan ke shipyard saya masih tanah merah. Padahal saya bayar pajak Rp2 miliar setiap tahun. Ditanyakan jalan ke BP Kawasan (Badan Pengusahaan Kawasan Batam-red) dibilangnya tanya ke Pemko (Batam), giliran ditanyakan ke Pemko katanya itu kewenangan BP," ujar Hengky.
Masukan-masukan dari pengusaha tersebut, menurut Menkeu, sangat bagus. Menurutnya, DK FTZ BBK harus segera dirapikan. Peraturan yang saling bertabrakan juga harus ditinjau ulang.
Agus juga mengatakan harus ada pelimpahan kewenangan dari pusat pada suatu otoritas di daerah sehingga action lebih cepat. Pajak berganda juga perlu ditinjau ulang. Disamping itu, keluhan tentang biaya-biaya yang cukup besar di Batam harus menjadi perhatian. Menguatnya nilai tukar rupiah juga akan terus mendapat perhatian pemerintah karena sangat berkaitan dengan inflasi. Jika inflasi tak terkendali, kata dia, akan sangat merugikan masyarakat.
Agus juga menghimbau kepada Dirjen Bea Cukai dan Dirjen Pajak agar tidak membuat peraturan secara dadakan, melainkan harus melalui sosialisasi terlebih dahulu.
Terkait infrastruktur, Agus meminta kepada pengusaha agar mengawal penggunaan APBD agar lebih maksimal untuk perbaikan infrastruktur. "65 % anggaran di pusat itu dinikmati daerah. Karena itu APBD harus dijaga jangan sampai lebih banyak digunakan untuk konsumtif. Banyak daerah yang menggunakan APBD lebih banyak untuk konsumtif, bahkan untuk belanja pegawai mencapai 60%, yang seharusnya itu untuk infrastruktur. Di daerah musti dikontrol," ujar Agus. (pti/kcm/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar