seminar waspada kekerasan seksual pada remaja yang digelar di gedung BP Batam Batamcenter, Sabtu (31/10).
batampos.co.id – Pakar bidang kriminologi (kriminolog)
dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala memberikan salah satu
cara meminimalisir terjadinya tindak kekerasan berupa pelecehan maupun
kekerasan seksual terhadap anak, seperti anak harus berani mengatakan
“tidak” dan “jangan” ketika ada orang lain yang dinilai bertindak tak
senonoh. Misalnya, melihat atau menyentuh bagian tubuh tertentu yang
merupakan wilayah pribadi anak.
“Kalau itu salah, katakan tidak, termasuk untuk orang-orang yang
dikenal, seperti guru, paman, bahkan pada bapak,” kata Adrianus saat
mengisi seminar Waspada Kekerasan Seksual Pada Remaja yang diadakan oleh
Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Ikatan Alumni (Iluni) UI Kepri di
kantor BP Batam di Batamcenter, Sabtu (31/11).
Guru Besar Fisip UI itu menjelaskan, anak harus diajarkan sejak dini
untuk mengenali wilayah-wilayah pribadinya yang tak boleh diketahui,
dilihat atau disentuh orang lain. Begitu juga, ketika ada orang lain
yang menyentuh bagian pribadi, menyuruh anak buka baju atau menunjukkan
foto telanjang, dan pelanggaran tindakan hukum lainnya, anak harus
diajarkan untuk menghindar.
Misalnya, menjauh dan menuju ke tempat
keramaian, berteriak atau meminta tolong dan melaporkan ke orang tua
atau guru.
“Karena kalau anak tersebut hanya diam, anak itu yang jadi korban sendiri,” jelas Komisioner Kompolnas itu.
Lebih lanjut, Adrianus juga berpesan pada orang tua, agar lebih peka
dan jeli mengenali setiap perubahan maupun adanya jejak tertentu pada
diri anak. Khususnya, untuk mengenali anak yang terkena kekerasan
seksual maupun pencabulan. Jejak itu bisa dikenali dari bekas fisik,
maupun perilaku histeria atau spontan yang terjadi pada anak.
“Anak rentan selaku penyaksi mata, apalagi jika dirinya adalah
korban,” kata pria yang juga pengurus Asosiasi Psikologi Forensik
tersebut.
Kriminolog 49 tahun itu juga mengingatkan bahayanya predator seksual
yang setiap saat bisa memangsa anak-anak. Sayangnya, kata Adrianus, tak
ada ciri fisik maupun perilaku sosial yang bisa dikenali sebagai penanda
yang bersangkutan merupakan pemangsa seksual terhadap anak.
“Dia tidak terkenali, karena tidak ada ciri khusus yang nampak,” terangnya.
Yang mengkhawatirkan, predator seksual pada anak ini biasanya punya
kecenderungan untuk mengulangi tindakannya, jika yang dilakukan
sebelumnya berhasil dan tak dicegah.
“Begitu dia keluar, dia bisa berbuat lagi,” ujar Pengajar dan Anggota
Senat Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Akademi ilmu
Pemasyarakatan (AKIP) itu.
Hal itu selaras dengan penjelasan psikiater, Adhi Wibowo Nurhidayat
yang juga jadi pembicara di acara tersebut. Menurut dia, berdasar Pusat
data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak, dari 21 juta kasus
pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten kota
di Indonesia, mayoritas atau sekitar 58 persen merupakan pelanggaran
hak anak berupa kejahatan seksual. Di antara penyebab terjadinya
kasus-kasus itu, beberapa diindikasi pelakunya menderita gangguan
seksual.
“Bisa berupa kecanduan seks, atau kelainan seksual,” kata dia.
Ia mencontohkan, kelainan seksual dimana seorang predator seks lebih
tertarik melakukan hubungan kelamin dengan anak-anak, terutama yang di
bawah usia 13 tahun dan pelaku berusia minimal 15 tahun, atau minimal
berusia 5 tahun lebih tua dibanding anak-anak tersebut. Begitu juga,
ketertarikan berhubungan seks yang tak wajar, misalnya dengan mayat.
“Faktor risiko bisa berupa sifat yang temperamental, pengaruh
lingkungan, genetik dan fisiologis,” terang dokter jiwa lulusan UI
tersebut.
Hal lain yang biasa terdeteksi pada predator seksual lainnya yakni
penderita kecanduan seksual. Itu juga dinilai bukan hanya dari seringnya
seseorang menghendaki orgasme, tapi juga melibatkan obyek seksual yang
menyimpang. Seperti, obyek seksual bukan manusia misalnya hewan, butuh
partner seks yang menderita atau dipermalukan, dan termasuk anak-anak.
“Kecanduan seksual itu lebih kompulsif (bersifat memaksa), repetatif (berulang) dan lebih berbahaya,” Adhi mengingatkan.
Kasus-kasus kekerasan seksual seperti tampaknya yang mulai terjadi di
Batam, kota industri yang tengah bergerak menuju kota metropolitan.
Data dari Polresta Barelang, selama tiga bulan terakhir, kasus kekerasan
seksual berupa pencabulan dan pemerkosaan di Batam yang masuk ke aparat
tersebut mencapai 22 kasus.
“Ada satu kasus perkosaan, dan 22 kasus pencabulan dari bulan Juli
sampai dengan September,” papar Kapolresta Barelang, Kombes Pol Asep
Safrudin di acara yang sama.
Bahkan, kata Kapolres, hanya dalam waktu 10 bulan sejak awal tahun
ini, pihaknya sudah mencatat ada 15 kasus pembunuhan, beberapa di
antaranya bahkan menimpa anak-anak, yakni di bawah usia 18 tahun.
“Dari indeks kejahatan selama 2015, tercatat 32 kasus itu berkaitan dengan perlindungan anak,” bebernya.
Meski demikian, pihaknya mengaku terus bekerja keras untuk mengungkap
kasus demi kasus. Termasuk, kasus pembunuhan siswa SMAN 1, Nia yang
mulai menemukan titik terang usai ditangkapnya tersangka, dua hari lalu.
“Kami akan terus bekerja, dan terima kasih karena itu semua juga berkat bantuan masyarakat,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Iluni UI Kepri, Rekaveny Soerya mengatakan
dengan adanya seminar itu diharapkan memberi manfaat bagi masyarakat
luas. Mengingat, di Batam juga terjadi kasus kekerasan yang menimpa
anak-anak, termasuk di antaranya kekerasan seksual.
“Kita khawatir karena kasus yang terjadi menimpa anak muda, terutama
wanita, makanya kami bikin aksi kepedulian dengan seminar yang memberi
informasi ini,” kata Rekaveny.
Ia berharap, masyarakat Batam jadi lebih banyak tahu celah dan cara mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak.
“Ketika masyarakat lebih banyak tahu, itu bagus, jadi ada upaya pencegahan,” ujarnya. (rna/bpos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar