batampos.co.id – Badan Pengusahaan (BP) Batam
akhirnya mengungkap kacau-balaunya tata kelola lahan oleh BP Batam di
masa lampau. Saking ruwetnya, mereka membutuhkan waktu sedikitnya 2,5
tahun untuk mengurai persoalan ini.
Deputi III BP Batam, RC Eko Santoso Budianto, mengatakan persoalan
lahan yang utama dan paling mendasar adalah banyaknya lahan tidur atau
telantar. Data BP Batam menyebutkan, saat ini ada 7.719,73 hektare (Ha)
lahan yang telantar. Lahan-lahan tersebut tersebar di 2.690 titik atau
lokasi.
Dari jumlah itu, BP Batam sudah memanggil para pemilik dari 192 titik
dengan luasan lahan 1.673 hektare. “Ada 174 pemilik dari 192 titik
lahan telantar tersebut yang sudah kami panggil. Namun 34 tidak
menghadiri panggilan kami,” ucap Eko, Senin (13/3).
Eko kemudian menjelaskan bahwa 192 titik lahan telantar yang
pemiliknya sudah dipanggil itu dibagi lagi menjadi 67 titik seluas
824,36 hektare yang belum dapat dievaluasi. Sementara 125 titik lainnya
dengan luas 848,64 hektare sudah dievaluasi.
Jika dirinci lagi, 67 titik belum terevaluasi terdiri dari 42 titik
(623 Ha) yang belum memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL), kemudian 24
titik seluas 201 hektare yang sedang dalam sengketa, dan satu titik
seluas 0,36 Ha yang merupakan aset pemerintahan.
Kemudian 125 titik yang sudah dievaluasi dibagi lagi menjadi 14 titik
seluas 198 hektare yang telah dibatalkan. “Delapan titik setelah Perka
11 dan 6 lokasi sebelum Perka 11 sekitar 2012 hingga 2016,” ujarnya.
Kemudian ada sembilan titik lahan seluas 57,8 hektare sedang dalam
proses untuk dibatalkan alokasinya dan kemudian akan dialokasikan
kemnbali. Lalu dua titik seluas 2 hektare akan dibatalkan alokasinya.
Setelah itu 11 titik seluas 86,4 hektare sedang progres pembangunan.
Lalu 13 titik seluas 150 hektare sedang dalam proses pengurusan dokumen.
“Dan 76 titik seluas 354,44 hektare tindakan evaluasinya akan
ditingkatkan,” tambah Eko.
Eko melanjutkan, saat ini masih ada 2.498 titik lahan telantar seluas
6.046,73 yang pemiliknya belum dipanggil. Terdiri dari 1.585 titik
seluas 3.078,13 hektare yang sudah dievaluasi dan 913 titik seluas 2.986
hektare yang belum bisa dievaluasi.
Jika dirinci lebih jauh lagi, maka 1.585 titik yang telah dievaluasi
dibagi lagi atas satu titik seluas 1,8 hektare yang telah dibatalkan
alokasinya pada tahun 2013. Kemudian dua titik seluas 19,4 hektare
sedang dalam proses membangun.
Lalu, enam titik seluas 26,3 hektare yang sedang dalam proses
pengurusan dokumen dan 1.571 titik seluas 3.030,63 hektare tengah dalam
tahap identifikasi dan inventarisasi fisik, baik data maupun dokumen.
Sedangkan untuk 913 titik yang belum bisa dievaluasi dibagi juga
menjadi 850 titik seluas 2.662 hektare yang belum memiliki HPL, kemudian
ada tiga lokasi seluas 81,6 hektare sedang dalam sengketa, dan 60
lokasi seluas 225 hektare merupakan aset pemerintah.
Dengan kata lain ada 1.710 titik lahan telantar sudah dievaluasi dan
979 titik lahan telantar yang bisa dievaluasi. “Sekarang masalahnya BP
Batam butuh waktu 2,5 tahun untuk mengevaluasi titik-titik lahan
terlantar yang dievaluasi,” kata Eko lagi.
Eko kemudian menjabarkan proses dan tahapan evaluasi lahan tidur
sebelum BP Batam mengambil keputusan. Apakah izin alokasinya dicabut
sementara, permanen, atau dialokasikan kembali.
Tahapan pertama proses evaluasi dimulai dari tahapan pengumpulan data
dan dokumen alokasi lahan. Seperti dokumen Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), dokumen Analisis Dampak Mengenai Lingkungan (Amdal), dokumen
Fatwa Planologi, Surat Keputusan (Skep), Surat Perjanjian (SPJ), dokumen
Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dan Penetapan Lokasi (PL). Semua
pengecekan dokumen tersebut memakan waktu 2 hingga 16 minggu, tergantung
situasi di lapangan. Dan itu berlaku untuk satu berkas.
Lalu kemudian dilanjutkan dengan survei lapangan berdasarkan dokumen
Izin Peralihan Hak (IPH) yang membutuhkan waktu seminggu hingga 4
minggu. Setelah itu, BP Batam akan menerbitkan Surat Peringatan (SP) 1
hingga SP 3 dengan tempo waktu 4 minggu. Jika pemilik lahan tidak
menanggapi SP tersebut, maka BP Batam akan mempublikasikannya di media
dalam rentang waktu seminggu.
Baru kemudian akan diputuskan apakah akan di-realokasikan atau
(izinnya) dicabut permanen. Waktu penentuannya seminggu hingga 4 minggu.
“Pekerjaan inilah yang membutuhkan waktu 2,5 tahun itu,” katanya.
Benang kusut lahan tidur ini menjadi semakin rumit karena berbagai
persoalan yang menyertainya. Misalnya, ada lahan yang dialokasikan
kepada pengusaha, padahal status lahan tersebut belum memiliki Hak
Pengalokasian Lahan (HPL). Kasus ini terjadi pada lahan-lahan yang ada
di kawasan Rempang dan Galang (Relang) yang masih berstatus quo.
“Ini juga, yang kasih alokasi sangat ngaco,” ujarnya.
Kemudian banyak lahan yang ternyata dibangun tanpa memiliki dokumen
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Dampak Mengenai Lingkungan
(Amdal). Kata Eko, IMB dan Amdal menjadi wewenang Pemko Batam.
“Kemudian, ternyata ada lahan milik instansi pemerintah atau BUMN
yang disewakan ke swasta, contohnya (lahan milik) PT Persero Batam,”
jelas Eko lagi.
Permainan mafia dan makelar lahan juga menambah rumitnya permasalahan
lahan di Batam. Modusnya, makelar atau mafia lahan sengaja tidak
membangun lahan yang telah dialokasikan oleh BP Batam. Sebab mereka
ingin menjual belikan lahan tersebut ke pihak ketiga dan seterusnya.
“Ketika dicek, ternyata alamat penerima alokasi sudah berubah dan
banyak pengalokasian dipindahtangankan tanpa izin dari BP Batam,”
ungkapnya.
Persoalan juga muncul dari internal BP Batam di masa lampau. Misalnya
banyak dokumen dan data alokasi lahan yang tidak terekam dengan baik
karena masih menggunakan sistem manual. “Untuk saat ini update data
perubahan PL dan peralihan hak masih berlangsung,” paparnya.
Eko menyebutkan, sejauh ini pihaknya sudah menindak sejumlah lahan
tidur di Batam. Di antaranya berupa pencabutan 15 izin alokasi lahan, 2
izin akan dibatalkan, dan 9 izin lahan akan dibatalkan kemudian
dialokasikan kembali. Kemudian dari pemanggilan BP Batam, tercatat ada
52 titik lahan sudah menyampaikan surat pemberitahuan segera membangun,
85 titik dapat SP 1, 22 titik dapat SP2, 32 titik dapat SP 3 dan 18
titik seluas 105,8 Hektare.
“Ini adalah proses monitoring dan evaluasi yang harus dilewati. Tapi
bisa saja dipercepat jadi 2 minggu jika pemilik lahan telantar mau
kooperatif. Namun kalau diberlakukan nanti kami dibilang arogan dan sok
kuasa,” jelasnya.
Ia kembali menegaskan bahwa BP Batam akan terus bertindak sesuai
perintah undang-undang (UU). Untuk itu, dia berharap para pengusaha
tidak terus mendesak BP Batam bekerja cepat. Sebab persoalan lahan di
Batam sudah begitu kompleksnya.
“Jangan paksa kami melanggar aturan dan undang-undang,” jelasnya.
Selain itu, kata Eko, penyelesaian masalah lahan ini sangat sensitif.
Jika tidak hati-hati, pejabat BP Batam bisa dianggap melanggar hukum
dan terancam pidana.
“Kami bisa didakwa korupsi nanti,” tegasnya.
Eko juga menyinggung pihak-pihak yang selama ini menekan BP Batam
untuk tidak bertele-tele menangani masalah lahan di Batam. Eko bahkan
menduga, mereka itu merupakan bagian dari mafia lahan. Ia meminta
mafialahan itu tak mendikte BP Batam dalam mengurus dan menyelesaikan
persoalan lahan.
“Kami tidak akan mau pasang badan untuk oknum-oknum yang terbiasa
bermain tanpa mengindahkan UU atau terbiasa KKN sama oknum pejabat BP
Batam,” tegasnya lagi.
Karena pada dasarnya perintah presiden sudah jelas untuk menghentikan
pola lama dan mulai berbisnis secara beretika dan patuh terhadap
peraturan. “Ini kok malahan mau ditawar. Pada dasarnya ini bukan masalah
saya, tapi revolusi mental. Ingat itu,” cetusnya.
Namun Eko memastikan, penyelesaian masalah lahan ini tidak akan
berdampak langsung pada layanan perizinan di kantor Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) BP Batam. Sebab, kata dia, perizinan dan lahan
ditangani oleh deputi dan devisi yang berbeda.
Sementara Ketua Dewan Pakar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam,
Ampuan Situmeang, mengapresiasi langkah serius BP Batam membereskan
masalah lahan di Batam. Namun Ampuan menantang BP Batam menyelesaikan
persoalan ini. Sebab dia mengakui, masalah lahan di Batam sangat
kompleks. Apalagi persoalan ini sudah mengendap selama 44 tahun.
“Jika BP Batam bisa mengatasinya, saya acungkan jempol,” kata Ampuan.
Menurut dia, waktu 2,5 tahun yang dijanjikan BP Batam sudah sangat
singkat. Ini jika melihat rumitnya persoalan yang membelit tata kelola
lahan di Batam saat ini. “Tapi dijelaskan dulu bagaimana standar
operasional prosedur penyelesaiannya seperti apa,” jelasnya.
Menurut Ampuan, BP Batam akan mengalami kesulitan menyelesaikan
problem lahan di tengah situasi dualisme yang melanda Batam. Karena
banyak tumpang tindih perizinan yang terjadi. “Dibutuhkan komunikasi
yang intens antara BP Batam dan Pemko Batam untuk bisa selesaikan hal
ini,” jelasnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Cahya, juga
memaklumi jika BP Batam membutuhkan waktu cukup panjang untuk
menyelesaikan masalah lahan.
“Jika untuk menata ulang lahan-lahan tumpang tindih, lahan tidur dan lahan tak punya HPL, kami bisa maklum,” jelasnya.
Namun dia menegaskan, penyelesaian masalah lahan ini tidak seharusnya berdampak pada layanan publik.
Seperti layanan perizinan di BP Batam yang menurut dia saat ini
tersendat. Sebab perizinan yang buruk akan berpengaruh pada iklim
investasi di Batam.
“Perekonomian langsung lesu,” katanya.
Terpisah, Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam Oka Simpatupang
mengaku kaget dengan pernyataan BP Batam yang membutuhkan 2,5 tahun
untuk membereskan masalah lahan.
“Maunya kami, secepatnya saja selesai. Sehingga tak ada investasi
yang terhambat akibat permasalahan ini,” kata Oka, Senin (13/3).
Menurut dia, selama ini banyak pengusaha yang mengeluh kesulitan
berinvestasi karena tidak tersedia lahan. “Saya rasa ini perlu segera
diselesaikan,” katanya lagi.
Terkait hal ini, Oka mengaku pihaknya siap memberikan masukan kepada
BP Batam. Namun dirinya merasa perlu mempelajari persoalan lahan ini
lebih detil. “Kami tak bisa asal bicara,” katanya. (ska/leo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar