IDNNews.id, Batam – Jika tidak ada halangan, direncanakan Komisi II DPR RI akan menggelar rapat dengar pendapar (RDP) terkait Kawasan Otorita/BP Batam, bersama sejumlah tokoh, pejabat hingga Tim Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Senin (13/5/2019).
Acara yang akan digelar di Ruang Rapat Komisi II Gedung DPR-RI Senayan ini, sebelumnya sudah diputuskan dalam Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus DPR RI antara Pimpinan DPR RI dengan Pimpinan Fraksi-fraksi DPR RI tanggal 20 April 2019, dan sesuai Hasil Keputusan Rapat Intern Komisi II DPR RI.
Direncanakan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Ketua Dewan Kawasan PBPB Batam), Ketua Ombudsman RI, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Ketua Kadm Provinsi Kepulauan Riau, Ketua Kadin Kota Batam direncanakan akan hadir dalam RDP tersebut.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeran menegaskan pihaknya akan membentuk Pansus untuk mengakhiri konflik BP Batam, FTZ (free trade zone) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang sampai hari ini belum selesai, dan masih tumpang-tindihnya aturan yang ada.
“Jadi, setelah Komisi II DPR menerima masukan dari beberapa kali rapat dengan berbagai pihak terkait, akhirnya sepakat akan membentuk Pansus Batam ini,” kata Herman di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (12/3/2019) silam.
Hal itu disampaikan saat Rapat Dengan Pendapat (RDP) Ketua Dewan Pakar Bidang Hukum Kadin Kota Batam Ampuan JM. Situmeang, dan Ketua Umum Kadin Batam, Jadi Rajagukguk.
Dimana sebelumnya Ampuan mengusulkan pembenatukan undang-undang. “Kalau pemerintah hanya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres), maka masalah ekonomi di Batam ini tak akan pernah selesai. Hanya dengan UU yang bisa selesaikan masalah Batam secara komprehensif,” katanya.
Pasca-reformasi diterbitkan UU No. 53 tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam sebagai daerah otonom, dan BP Batam ikut di dalamnya, untuk mengatur hubungan kerja.
Lalu, terbit PP No 46 Tahun 2007 sehingga menjadi kawasan perdagangan bebas (FTZ). Kemudian terbit PP No.46 tahun 20027 tentang Otorita Batam dan BP. Batam menjadi pelabuhan bebas Batam.
Hanya saja sejak Darmin Nasution menjadi Ketua Dewan Bebas Kawasan (FTZ), yang sebelumnya dijabat oleh Gubernur sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK).
“Padahal, untuk merubah FTZ ke KEK itu harus menunggu 70 tahun terhitung sejak tahun 1973,” kata Ampuan.
BP Batam memang tidak bubar, tapi dikendalikan oleh Pemkot Batam sebagai Ex –Officio. “Pak Darmin mengatakan pasca pilpres masalah ini akan diberlakukan sebagai dasar legalisasi jabatan Ex-Officio itu. Padahal, Ex-Officio itu tidak diamanahkan oleh UU No.23 tahun 2014 tentang otonomi daerah,” jelas Ampaun lagi.
Ampuan mengakui jika pemerintah pusat boleh membentuk FTZ, namun bukan dengan jabatan Ex-Officio.
“Maka, solusi Batam sebagai pelayanan publik adalah dengan membentuk Otsus Batam pada tingkat provinsi, yang membawahi Kota Batam, meski itu sulit karena ada moratoroum pembentukan daerah otonomi baru (DOB),” ungkapnya.
Jadi Rajagukguk malah menyebut Walikota Batam dengan keputusan saat ini menjadi ‘Robin Hood’. Sehingga banyak mengalihkan dan membebaskan status tanah negara untuk kepentingan lain.
“Padahal, itu bukan kewenangan Pemkot Batam, melainkan menteri terkait. Karena itu, kami minta Komisi II DPR selamatkan Batam,” ungkapnya.
Sementara itu Herman Khaeran akan membentuk Pansus untuk mengakhiri konflik BP Batam, KEK dan FTZ yang sampai hari ini belum selesai, dan masih tumpang-tindihnya aturan. “Jadi, Komisi II DPR sepakat akan bentuk Pansus untuk selesaikan Batam ini,” katanya.(*/Iman Suryanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar