Suasana galangan kapal di Batuampar yang padat, Jumat (15/4). Pengusaha Shipyard di Batam berharap penerapan KEK tak akan berdampak negatif bagi industri tersebut. F.Rezza Herdiyanto untuk Batam Pos
batampos.co.id – Perubahan nomenklatur Free Trade
Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menimbulkan keresahan di
kalangan pengusaha galangan kapal (shipyard) di Batam. Mereka berharap,
implementasi KEK di Batam tak berdampak pada relokasi usaha shipyard.
“Pengusaha shipyard tidak butuh KEK, kami hanya butuh ‘donat’,” kata
Sekretaris Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA), Suri Teo,
saat diskusi di Hotel Venesia, Batam, Selasa (10/5).
Suri menganalogikan pinggiran donat adalah kawasan pesisir di Pulau
Batam. Sementara bulatan di tengahnya adalah kawasa permukiman dan
industri lainnya.
“Industri galangan kapal hanya butuh pinggiran pantai untuk bisa
berkembang. Tak mungkin direlokasi kemana-mana karena sudah banyak modal
yang habis ke sana,” jelasnya.
Suri mengungkapkan, para pengusaha galangan kapal hanya meminta
kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam agar segera meningkatkan
infrastruktur untuk mempermudah akses dan mendorong pemerintah pusat
memberikan order pengerjaan kapal lebih banyak ke industri galangan
kapal yang ada di Batam.
“Saat ini memang kondisi galangan kapal di Batam lagi sepi orderan
akibat pengaruh krisis global yang melanda akibat harga minyak yang
turun drastis,” katanya.
Saat ini, kata dia, ada 114 perusahaan galangan kapal di Batam dan 48
industri penunjang galangan kapal dengan total pekerja hanya 11.900
orang. Jumlah pekerja saat ini hampir sama dengan yang dimiliki
perusahaan Drydock pada 2013 lalu.
“Saat ini hanya tiga perusahaan yang dapat orderan baru yakni Citra
Shipyard, Palindo, dan Bandar Baru Shipyard, sedangkan yang lain hanya
melanjutkan proyek lama,” jelasnya.
Suri mengungkapkan 50 persen galangan kapal di Indonesia terpusat di
Batam. Di zaman kejayaannya pada medio 2011-2013, dengan jumlah industri
galangan kapal yang sama, mereka dapat menghasilkan 700-800 unit kapal
tongkang dan 200-an unit kapal tugboat dalam setahun. Sangat jauh
berbeda dengan saat ini.
“Kalau sekarang hanya bisa mengerjakan 2-3 tugboat saja dalam setahun,” ujar Suri miris.
Penyebab lain, kata Suri, yang menghambat pertumbuhan shipyard di
Batam adalah tidak kunjung terealisasinya pembangunan smelter (fasilitas
pengolahan hasil tambang) di wilayah Bintan di Kepri, Sumatera, dan
Kalimantan. Sebab dengan pembangunan smelter, maka akan berimbas pada
permintaan pembuatan kapal di Batam.
Selain itu, di tengah anjloknya harga minyak, justru permintaan
batubara meningkat, terutama permintaan ekspor. Namun kebijakan
pemerintah yang membatasi kuota ekspor batubara dan melarang ekspor
bauksit, nikel, dan barang tambang lainnya menyebabkan efek berantai
kepada pertumbuhan shipyard di Batam.
Pemerintah melarang ekspor bahan-bahan tambang dengan tujuan agar
bahan-bahan tersebut bisa diolah di smelter untuk kepentingan industri
galangan kapal dapat menggunakannya dalam pembuatan kapal.
“Namun smelter yang tak kunjung jadi, justru sangat merugikan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam, Tri Novianta
Putra mengatakan terhambatnya proses pembangunan smelter yang
investornya datang dari Tiongkok adalah karena terbatasnya lahan dan
persoalan infrastruktur. Seperti pengadaan air dan listrik.
“Kalau smelter banyak dibangun, maka tentu saja akan meningkatkan
lalu lintas kapal di laut jadi berimbas positif pada pertumbuhan
shipyard di Batam,” jelasnya.
Smelter dibangun juga dengan tujuan meningkatkan mutu produk bahan
baku olahan milik Indonesia. Selama ini, banyak perusahaan galangan
kapal yang mengimpor bahan baku dari luar negeri dengan alasan lebih
murah. “Sedangkan dari Indonesia tidak standar dan harga lebih mahal
karena biaya logistik yang tinggi,” ujarnya.
Novianta juga akan menyampaikan usulan para pengusaha galangan kapal
yang enggan direlokasi ke Dewan Kawasan (DK) Batam. “Di KEK nanti, hanya
industri yang berdiri di zona KEK yang dapat insentif, sedangkan di
luar dari itu terikat kepada peraturan zona bebas seperti sebelumnya,”
ujarnya meyakinkan BSOA.
Peraturan mengenai KEK saat ini tengah digodok oleh DK Batam dengan
harapan memberi harapan pasti kepada pelaku industri di Batam. Presiden
Jokowi, kata dia, juga menawarkan program poros maritim yang diharapkan
dapat mendongkrak industri galangan kapal di Indonesia, khususunya di
Batam.
“Memang secara bertahap, belum bisa memenuhi seluruh perusahaan galangan kapal di Batam,” jelasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)
Kota Batam, Rudi Sakyakirti yang hadir dalam diskusi ini masih bisa
mengingat ketika zaman kejayaan shipyard di Batam. Ada sejumlah
perusahaan galangan kapal yang memiliki tempat parkir motor sampai lima
tingkat dan setiap pagi jalanan di sekitar kawasan Tanjunguncang pasti
macet hebat.
“Saat ini ordernya kurang, kalah bersaing dengan Vietnam, apalagi Tiongkok yang punya 3.000 galangan kapal,” jelasnya.
Saat ini, kata Rudi, banyak galangan kapal yang menyelesaikan proyek
lama akibat krisis global yang membuat lesu pertumbuhan ekonomi di
Batam. “Kami dari Pemko Batam berjanji akan membantu menggiatkan lagi.
Dan BP Batam yang baru juga diharapkan dapat memberikan perubahan,”
katanya. (leo/bpos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar