TRIBUNBATAM.id, BATAM - Pada 2020 mendatang, ada 11
perusahaan Amerika Serikat yang akan berinvestasi di kota Batam.
Satu investor AS itu bahkan akan merealisasikan investasi
akhir 2019 ini. Investor itu dijadwalkan datang ke Kabil, Kamis (28/11/2019).
Hal tersebut diungkapkan Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin)
Kepulauan Riau (Kepri) Ahmad Maaruf Maulana.
"Kesebelas calon investasi dari Amerika itu ada
industri pengalengan ikan dan jasa. Kami sudah punya data perusahaan-perusahan
ini. Awalnya mau buka di Vietnam, namun akhirnya pindah ke Batam," ujar
Maaruf, Rabu (27/11/2019).
Kadin Kepri sudah melaporkan rencana investasi itu ke
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian. Ia meminta jaminan kemudahan
perizinan perusahaan itu. Pada 2020 mendatang, Kadin Kepri akan melakukan
kunjungan lagi ke AS.
Mereka akan memfollow up, realisasi 11 investor yang akan
masuk Batam itu. Sehingga awal tahun depan, pihaknya akan menindaklanjuti
rencana investasi itu, dengan kunjungan lanjutan ke Amerika.
"Tahun depan kami akan kunjungan kesana tahun depan,
untuk mem-follow up rencana itu," ujarnya.
Investasi perusahaan AS itu salah satu imbas dari perang
dagang AS vs China yang terus memanas dalam setahun terakhir.
Seperti diketahui, banyak perusahaan AS di China saat ini
mengalihkan investasinya ke negara lain. Relokasi terbesar adalah ke Vietnam
yang sempat membuat Presiden Joko Widodo bersungut-sungut.
Namun belakangan, AS curiga adanya permainan
perusahaan-perusahaan China yang hendak memasukan barangnya ke negara tersebut.
Sebab, ada temuan sejumlah produk China diberi label Made in
Vietnam untuk menghindari tarif masuk yang tinggi ke AS.
Dikutip dari Bloomberg, pihak Vietnam menemukan lusinan
sertifikat asal produk palsu dan transfer ilegal oleh perusahaan-perusahaan
yang berusaha menghindari tarif AS. Produk tersebut beragam, mulai dari produk
pertanian hingga tekstil dan baja.
Vietnam mengumumkan temuan tersebut, beberapa waktu lalu,
untuk menghindari rembesan sanksi dari AS.
Ditengarai, sejumlah eksportir China mengubah rute pesanan
setelah Trump mengenakan tarif terhadap produk-produk China senilai 250 miliar
dollar AS.
Trump juga mengancam bakal mengenakan tarif tambahan
terhadap produk senilai 300 miliar dollar AS.
Mitra-mitra dagang AS, termasuk Vietnam, menghadapi tekanan
untuk menghentikan ekspor ilegal tersebut.
"Ini seperti permainan kucing dan tikus. Sepanjang
orang-orang bersedia mengambil risiko dalam mencari arbitrase terkait tarif 25
persen itu, akan sangat sulit (ditangani)," jelas Fred Burke, managing
partner di Baker & McKenzie (Vietnam) Ltd.
Do Van Sinh, anggota komite ekonomi Majelis Nasional Vietnam
melaporkan lonjakan pengiriman barang ke AS, sementara China anjlok.
Namun, meski ada bukti lonjakan tersebut salah satunya
disebabkan pergeseran rantai pasok, sejumlah analis mempertanyakan keabsahan
lonjakan itu.
Ma’aruf berharap, Indonesia, khuisusnya Batam, bisa
memanfaatkan peluang ini.
Relokasi banyak perusahaan dari China bisa menjadi peluang
besar bagi Batam jika digarap serius.
Selain itu, Maaruf juga berharap pemerintah daerah
memberikan kemudahan perizinan.
"Pemerintah seharusnya juga bisa memberikan kepastian
hukum. Investasi asing harus kita jaga bersama,"
tegasnya.
Maaruf mengatakan, pihaknya sudah melakukan penandatanganan
kerjasama antara investor AS, QPAC dengan PT OOK Perkasa bersama Kadin Kepri.
Perusahaan AS itu resmi berinvestasi di Batam, Kepri dengan
nilai investasi sekitar USD 50 juta atau sekitar Rp 700 miliar.
Perusahaan itu memproduksi stretch film, lakban, isolasi dan
adhesive tape. Semua produk yang dibuat di Batam, selanjutnya diekspor ke
Amerika.
Penandatanganan kerja sama investasi ini juga dihadiri BKPM
dan Indonesia Trade Promotion Centre dengan Martina Anggelika dari Los Angeles,
AS.
Perusahaan QPAC dengan PT OOK Perkasa akan menempati salah
satu industri atau pabrik di Wiraraja Industrial Park, Kabil, Punggur, Kota
Batam.
Untuk tahap awal, jumlah tenaga kerja yang akan terserap di
industri ini sebanyak 400-500 orang.
Biaya Lebih Rendah
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi sempat kesal karena
Indonesia ternyata tidak masuk dalam negara yang menjadi pilihan relokasi
perusahaan-perusahaan di China.
Investor cenderung lebih tertarik berinvestasi ke Vietnam
ketimbang ke Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, besarya nilai
investasi yang masuk ke Vietnam disebabkan berbagai kemudahan yang ditawarkan
oleh pemerintah setempat, termasuk terkait kebijakan fiskal.
Pajak Penghasilan (PPh) badan yang harus dibayarkan
perusahaan kepada pemerintah di Vietnam adalah yang terkecil di kawasan ASEAN.
“Kami sering ditanya dengan rezim fiskalnya Vietnam yang
sekarang ini dianggap berhasil menarik investasi. Untuk Vietnam, PPh badan
mereka adalah di 20 persen. Ini termasuk tarif yang rendah di kawasan ASEAN,”
kata Sri Mulyani.
Sedangkan PPh badan di Indonesia cenderung lebih tinggi
yaitu 25 persen.
Bagi perusahaan go public atau yang sudah melantai di bursa,
PPh badan yang harus dibayarkan adalah 20 persen.
Namun, dari sisi insentif pajak, seperti tax holiday,
Indonesia dan Vietnam punya kebijakan yang tidak jauh berbeda.
Bahkan, menurut Sri Mulyani, kebijakan tax holiday Indonesia
sudah cukup progresif, karena diberikan untuk jangka waktu hingga 20 tahun,
sementara Vietnam 13 tahun. (rus/yan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar