kepala BP Batam Hatanto. Foto: Iman W./batampos.co.id
batampos.co.id -Kepri yang berdekatan dengan
Singapura dan Malaysia memiliki potensi untuk lebih cepat maju
dibandingkan dengan provinsi lain. Namun, harapan itu masih jauh dari
harapan.
Di mata Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Hatanto Reksodipoetro,
ada syarat jika Kepri mau lebih maju, yakni ekonominya harus tumbuh
hingga 30,5 persen pada 2021 mendatang. Dengan begitu Kepri tetap bisa
bersaing dengan mancanegara.
“Selain itu, tujuan lain agar Kepri masuk lima besar pertumbuhan
ekonomi nasional di Indonesia dan mengantisipasi pertumbuhan masyarakat
yang semakin tinggi,” ungkap Hatanto.
Tahun 2015, nilai produk domestik dalam bruto (PDRB) Batam mencapai
Rp 91,7 triliun dan itu berasal dari kontribusi enam sektor ekonomi.
Enam sektor tersebut antara lain adalah sektor industri pengolahan
dengan PDRB mencapai Rp 50,9 triliun, konstruksi dengan Rp 17,3 triliun,
dan perdagangan dengan nilai Rp 5,9 triliun. Kemudian sektor jasa
keuangan dengan nilai Rp3,4 triliun, pergudangan dengan nilai Rp 2,8
triliun dan informasi dan komunikasi dengan nilai Rp 2,4 triliun.
“Enam besar sektor ekonomi ini ditambah sektor lainnya harus tumbuh
hingga 30,5 persen dengan total PDRB mencapai Rp 450 triliun dengan
catatan Natuna harus tumbuh 25 persen,” ungkapnya.
Hatanto kemudian mengungkapkan cara mencapainya adalah dengan menerapkan arah strategis pengembangan di Batam.
“Arah strategis pengembangan harus berorientasi pada industri hijau
berorientasi ekspor, kawasan wisata bahari unggul, dan transhipment
perdagangan internasional, ” ungkapnya.
Sedangkan arah kebijakan yang coba diterapkan untuk meningkatkan daya
tarik investasi ke Batam akan dilakukan dengan pendekatan secara
internal dan eksternal.
Cara-cara tersebut antara lain membangun infrastruktur pelengkap,
perluasan infrastruktur, promosi terarah, profesionalisme pegawai,
menghilangkan inefisiensi, organisasi efisien dan pro-bisnis.
“Cara ini harus ditempuh untuk mengatasi kelemahan Batam,” ujarnya.
Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain tenaga kerja handal yang
terbatas, masalah perizinan yang belum mendukung, rantai peningkatan
nilai tambah yang pendek.
Kemudian UU Nomor 13 tahun 2013 tentang ketenagarkerjaan yang
mengatur tentang upah, lahan terbatas, sumber air terbatas, dan
lingkungan yang mendukung inovasi belum tumbuh.(leo/bp/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar