Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Rabu, 25 Januari 2017

Tarif UWTO Tertinggi untuk Komersil di Nagoya

Rabu, 25 Januari 2017 (Sumber: Batampos)

batampos.co.id – Badan Pengusahaan (BP) Batam resmi merilis tarif baru Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) pada Senin (23/1) lalu. Tarif termahal tetap kawasan Nagoya bagi peruntukan komersil, yakni Rp 495.600 per meter persegi untuk alokasi lahan baru.

Sementara tarif termurah sebesar Rp 1.500 per meter persegi untuk lahan di pulau-pulau sekitar Rempang dan Galang. Tarif termurah ini berlaku untuk peruntukan fasilitas sosial pemerintah. Tarif baru tersebut tertuang dalam Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 1 Tahun 2017 sebagai revisi atas Perka BP Batam Nomor 19 Tahun 2016.

“Perka ini merupakan perintah langsung dari atasan di Jakarta. Dan kami hanya melakukan perintah dari DK,” kata Kepala BP Batam Hatanto Reksodipoetro saat menggelar jumpa pers di Gedung Marketing BP Batam, Selasa (24/1).

Yang menarik, tarif UWTO untuk perumahan tapak (landed house) dibuat sama. Baik untuk perumahan mewah maupun untuk perumahan sederhana. Yang membedakan hanyalah zona atau wilayahnya saja.

Untuk perumahan tapak, tarif UWTO termahal juga berlaku bagi wilayah Nagoya. Untuk alokasi lahan baru, tarif perumahan tapak di Nagoya Rp 216.900 per meter persegi dan untuk perpanjangan 20 tahun Rp 72.300 per meter persegi.

Sedangkan tarif UWTO perumahan tapak termurah berlaku untuk wilayah sekitar Pulau Rempang dan Galang, yakni Rp 71.300 (alokasi baru) dan Rp 23.800 per meter persegi untuk perpanjangan.
Dalam Perka baru ini, BP Batam menyederhanakan peruntukan lahan dari sebelumnya 41 peruntukan menjadi 14 peruntukan.

Adapun 14 peruntukan tersebut antara lain rumah susun sederhana, perumahan kaveling siap bangun (KSB), perumahan tapak, apartemen, industri, komersial, pariwisata, lapangan golf, fasilitas olahraga, bangunan dan kantor pemerintah, fasilitas sosial pemerintah, fasilitas sosial swasta dan BUMN, pertanian, dan perikanan.

Sedangkan untuk jumlah lokasi lahan berubah dari 44 kelurahan menjadi 14 sub-wilayah pengembangan. Terdiri dari 11 sub-wilayah pengembangan di wilayah Pulau Batam dan 3 sub-pengembangan wilayah di Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Ke-11 sub-wilayah pengembangan di Batam antara lain wilayah Batuampar yang terdiri dari Nagoya, Sei Panas, dan Mukakuning. Kemudian wilayah Sekupang terdiri dari Sekupang dan Tanjunguncang/Sagulung. Lalu, wilayah Pantai Timur yang terdiri dari Nongsa, Kabil, dan Tanjungpiayu.

Kemudian wilayah Pulau Rempang dan Galang dibagi lagi atas Rempang, Galang/Galangbaru, dan pulau lain sekitar Rempang dan Galang. Dan terakhir untuk wilayah pulau lain sekitar Batam.
Sedangkan di wilayah pengembangan Batamcenter dibagi menjadi 2 sub-wilayah. Yakni sub-wilayah pengembangan core Batamcenter dan kelurahan (non core) Batamcenter.

“Wilayah core itu sekitar daerah pemerintahan seperti Gedung Pemko Batam, Bank Indonesia, dan lainnya. Dan wilayah non-core itu yang meliputi wilayah di luar pemerintahan, yakni wilayah kelurahan,” tambahnya.

Untuk alokasi lahan baru dan perpanjangan, tarif rumah susun sederhana di seluruh wilayah sama rata begitu juga dengan tarif perpanjangan. Tidak ada kenaikan sama sekali atau masih menggunakan tarif lama. Tarif alokasi lahan baru sebesar Rp 28.300 per meter dan tarif perpanjangan sebesar Rp 15.100 per meter.

Untuk industri, tarif alokasi lahan baru naik 100 persen. Tarif termahal ada di Seipanas dengan nilai Rp 210.500 per meter dan termurah ada di wilayah pulau lain sekitar Rempang dan Galang dengan nilai Rp 40.700 per meter.

Sedangkan untuk tarif perpanjangan industri naik 50 persen. Tarif termahal juga ada di Seipanas dengan nilai Rp 105.300 per meter dan tarif termurah ada di wilayah pulau lain sekitar Rempang dan Galang dengan nilai Rp 23.500 per meter.

Perka ini berlaku sejak tanggal ditetapkan yakni pada 23 Januari lalu. Berbeda seperti Perka Nomor 19 Tahun 2016 yang menggunakan konsep kenaikan berkala, maka tarif dalam Perka Nomor 1 tahun 2017 ini bersifat tetap (fix) sampai ada perubahan baru.

Khusus untuk tarif pengurusan dokumen perizinan lahan masih menggunakan lampiran keempat pada Perka 19 Tahun 2016. “Seperti IPH, pemberlakuan tarif berlaku surut sejak 18 November kemarin,” jelas Hatanto.

Pada dasarnya, tarif Izin Peralihan Hak (IPH) sebesar 2,5 persen dari tarif UWTO, sehingga tarif IPH berdasarkan Perka Nomor 19 Tahun 2016 lebih tinggi dari Perka yang baru. Sehingga masyarakat yang mengurus perizinan dokumen lahan terhitung sejak 18 November 2016 lalu, sisa kelebihan uangnya akan dikembalikan.

“Diharapkan dengan Perka perubahan ini semua pengurusan lahan dapat dilaksanakan sesuai tarif yang berlaku dan yang telah membayar menggunakan tarif lama, kelebihan pembayarannya akan segera dikembalikan,” jelasnya lagi.

Dalam Perka terbaru ini, pembayaran tarif perpanjangan harus dilakukan paling cepat 3 tahun dan paling lambat 2 tahun sebelum jatuh tempo.
Hatanto juga menyampaikan terbitnya Perka Nomor 1 Tahun 2017 sebagai revisi Perka Nomor 19 Tahun 2016 merupakan jawaban dari keluhan berbagai elemen masyarakat khususnya pengembang properti di Batam.

“Teman-teman kami di Real Estate Indonesia (REI) Batam sibuk sekali mengeluhkan kami mulai dari pelayanan tidak jalan, tarif mahal, dan sebagainya,” jelasnya.
Makanya pada saat penundaan perizinan lahan terhitung sejak November 2016 lalu, BP Batam menetapkan aturan peralihan. Sejumlah peraturan tersebut antara lain masyarakat tidak lagi dikenakan denda pinalti atas keterlambatan pembayaran. Dan jika terburu-buru dalam pengurusan dokumen perizinan lahan seperti IPH, maka bisa pakai tarif Perka lama tentunya dengan menggunakan surat pernyataan. “Itu kan sudah fair namanya,” imbuhnya.

Di tempat yang sama, Deputi III BP Batam, Eko Santoso Budianto mengatakan revisi tarif UWT sudah mempertimbangkan aspirasi masyarakat Batam. “Ini kan spiritnya, azas keadilan bagi orang kaya,” sindirnya.

Namun karena berbagai kontra atas tarif UWTO pada Perka lama, maka pihaknya juga mendapat tekanan dari atasan.
“Dulu kami sengaja beri insentif untuk industri teknologi tinggi, dan sekarang tidak ada lagi,” ungkapnya, Konsep yang ada dalam Perka Nomor 1 Tahun 2017 merupakan perwujudan dari konsep dari kepemimpinan BP Batam yang sebelumnya. “Ya kita kembali ke ‘Orde Lama’ namanya,” timpal Eko.

Ketika disinggung mengenai kunjungan Komisi XI DPR RI beberapa waktu yang lalu yang ingin merancang mengenai Undang-Undang (UU) Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) termasuk UWTO, Eko mengatakan pihaknya belum berpikir sejauh itu dan masih akan melihat situasinya nanti.

Dengan penerapan tarif baru ini, maka realisasi PNBP BP Batam dari UWTO tahun 2017 diperkirakan akan turun. Kepala Kantor Pengelolaan Lahan, Imam Bachroni mengatakan realisasinya akan turun menjadi sepertiga dari tarif lahan yang menggunakan Perka lama.

“Untuk tarif dengan Perka lama, sejak berlaku (Oktober 2016) hingga penundaan (November 2016), sekitar Rp 2 miliar,” ungkapnya. (leo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar