batampos.co.id – Badan Pengusahaan (BP) Batam resmi
merilis tarif baru Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) pada Senin (23/1)
lalu. Tarif termahal tetap kawasan Nagoya bagi peruntukan komersil,
yakni Rp 495.600 per meter persegi untuk alokasi lahan baru.
Sementara tarif termurah sebesar Rp 1.500 per meter persegi untuk
lahan di pulau-pulau sekitar Rempang dan Galang. Tarif termurah ini
berlaku untuk peruntukan fasilitas sosial pemerintah. Tarif baru
tersebut tertuang dalam Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 1 Tahun
2017 sebagai revisi atas Perka BP Batam Nomor 19 Tahun 2016.
“Perka ini merupakan perintah langsung dari atasan di Jakarta. Dan
kami hanya melakukan perintah dari DK,” kata Kepala BP Batam Hatanto
Reksodipoetro saat menggelar jumpa pers di Gedung Marketing BP Batam,
Selasa (24/1).
Yang menarik, tarif UWTO untuk perumahan tapak (landed house) dibuat
sama. Baik untuk perumahan mewah maupun untuk perumahan sederhana. Yang
membedakan hanyalah zona atau wilayahnya saja.
Untuk perumahan tapak, tarif UWTO termahal juga berlaku bagi wilayah
Nagoya. Untuk alokasi lahan baru, tarif perumahan tapak di Nagoya Rp
216.900 per meter persegi dan untuk perpanjangan 20 tahun Rp 72.300 per
meter persegi.
Sedangkan tarif UWTO perumahan tapak termurah berlaku untuk wilayah
sekitar Pulau Rempang dan Galang, yakni Rp 71.300 (alokasi baru) dan Rp
23.800 per meter persegi untuk perpanjangan.
Dalam Perka baru ini, BP Batam menyederhanakan peruntukan lahan dari sebelumnya 41 peruntukan menjadi 14 peruntukan.
Adapun 14 peruntukan tersebut antara lain rumah susun sederhana,
perumahan kaveling siap bangun (KSB), perumahan tapak, apartemen,
industri, komersial, pariwisata, lapangan golf, fasilitas olahraga,
bangunan dan kantor pemerintah, fasilitas sosial pemerintah, fasilitas
sosial swasta dan BUMN, pertanian, dan perikanan.
Sedangkan untuk jumlah lokasi lahan berubah dari 44 kelurahan menjadi
14 sub-wilayah pengembangan. Terdiri dari 11 sub-wilayah pengembangan
di wilayah Pulau Batam dan 3 sub-pengembangan wilayah di Pulau Rempang
dan Pulau Galang.
Ke-11 sub-wilayah pengembangan di Batam antara lain wilayah Batuampar
yang terdiri dari Nagoya, Sei Panas, dan Mukakuning. Kemudian wilayah
Sekupang terdiri dari Sekupang dan Tanjunguncang/Sagulung. Lalu, wilayah
Pantai Timur yang terdiri dari Nongsa, Kabil, dan Tanjungpiayu.
Kemudian wilayah Pulau Rempang dan Galang dibagi lagi atas Rempang,
Galang/Galangbaru, dan pulau lain sekitar Rempang dan Galang. Dan
terakhir untuk wilayah pulau lain sekitar Batam.
Sedangkan di wilayah pengembangan Batamcenter dibagi menjadi 2
sub-wilayah. Yakni sub-wilayah pengembangan core Batamcenter dan
kelurahan (non core) Batamcenter.
“Wilayah core itu sekitar daerah pemerintahan seperti Gedung Pemko
Batam, Bank Indonesia, dan lainnya. Dan wilayah non-core itu yang
meliputi wilayah di luar pemerintahan, yakni wilayah kelurahan,”
tambahnya.
Untuk alokasi lahan baru dan perpanjangan, tarif rumah susun
sederhana di seluruh wilayah sama rata begitu juga dengan tarif
perpanjangan. Tidak ada kenaikan sama sekali atau masih menggunakan
tarif lama. Tarif alokasi lahan baru sebesar Rp 28.300 per meter dan
tarif perpanjangan sebesar Rp 15.100 per meter.
Untuk industri, tarif alokasi lahan baru naik 100 persen. Tarif
termahal ada di Seipanas dengan nilai Rp 210.500 per meter dan termurah
ada di wilayah pulau lain sekitar Rempang dan Galang dengan nilai Rp
40.700 per meter.
Sedangkan untuk tarif perpanjangan industri naik 50 persen. Tarif
termahal juga ada di Seipanas dengan nilai Rp 105.300 per meter dan
tarif termurah ada di wilayah pulau lain sekitar Rempang dan Galang
dengan nilai Rp 23.500 per meter.
Perka ini berlaku sejak tanggal ditetapkan yakni pada 23 Januari
lalu. Berbeda seperti Perka Nomor 19 Tahun 2016 yang menggunakan konsep
kenaikan berkala, maka tarif dalam Perka Nomor 1 tahun 2017 ini bersifat
tetap (fix) sampai ada perubahan baru.
Khusus untuk tarif pengurusan dokumen perizinan lahan masih
menggunakan lampiran keempat pada Perka 19 Tahun 2016. “Seperti IPH,
pemberlakuan tarif berlaku surut sejak 18 November kemarin,” jelas
Hatanto.
Pada dasarnya, tarif Izin Peralihan Hak (IPH) sebesar 2,5 persen dari
tarif UWTO, sehingga tarif IPH berdasarkan Perka Nomor 19 Tahun 2016
lebih tinggi dari Perka yang baru. Sehingga masyarakat yang mengurus
perizinan dokumen lahan terhitung sejak 18 November 2016 lalu, sisa
kelebihan uangnya akan dikembalikan.
“Diharapkan dengan Perka perubahan ini semua pengurusan lahan dapat
dilaksanakan sesuai tarif yang berlaku dan yang telah membayar
menggunakan tarif lama, kelebihan pembayarannya akan segera
dikembalikan,” jelasnya lagi.
Dalam Perka terbaru ini, pembayaran tarif perpanjangan harus
dilakukan paling cepat 3 tahun dan paling lambat 2 tahun sebelum jatuh
tempo.
Hatanto juga menyampaikan terbitnya Perka Nomor 1 Tahun 2017 sebagai
revisi Perka Nomor 19 Tahun 2016 merupakan jawaban dari keluhan berbagai
elemen masyarakat khususnya pengembang properti di Batam.
“Teman-teman kami di Real Estate Indonesia (REI) Batam sibuk sekali
mengeluhkan kami mulai dari pelayanan tidak jalan, tarif mahal, dan
sebagainya,” jelasnya.
Makanya pada saat penundaan perizinan lahan terhitung sejak November
2016 lalu, BP Batam menetapkan aturan peralihan. Sejumlah peraturan
tersebut antara lain masyarakat tidak lagi dikenakan denda pinalti atas
keterlambatan pembayaran. Dan jika terburu-buru dalam pengurusan dokumen
perizinan lahan seperti IPH, maka bisa pakai tarif Perka lama tentunya
dengan menggunakan surat pernyataan. “Itu kan sudah fair namanya,”
imbuhnya.
Di tempat yang sama, Deputi III BP Batam, Eko Santoso Budianto
mengatakan revisi tarif UWT sudah mempertimbangkan aspirasi masyarakat
Batam. “Ini kan spiritnya, azas keadilan bagi orang kaya,” sindirnya.
Namun karena berbagai kontra atas tarif UWTO pada Perka lama, maka pihaknya juga mendapat tekanan dari atasan.
“Dulu kami sengaja beri insentif untuk industri teknologi tinggi, dan sekarang tidak ada lagi,” ungkapnya, Konsep yang ada dalam Perka Nomor 1 Tahun 2017 merupakan perwujudan
dari konsep dari kepemimpinan BP Batam yang sebelumnya. “Ya kita kembali
ke ‘Orde Lama’ namanya,” timpal Eko.
Ketika disinggung mengenai kunjungan Komisi XI DPR RI beberapa waktu
yang lalu yang ingin merancang mengenai Undang-Undang (UU) Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP) termasuk UWTO, Eko mengatakan pihaknya belum
berpikir sejauh itu dan masih akan melihat situasinya nanti.
Dengan penerapan tarif baru ini, maka realisasi PNBP BP Batam dari
UWTO tahun 2017 diperkirakan akan turun. Kepala Kantor Pengelolaan
Lahan, Imam Bachroni mengatakan realisasinya akan turun menjadi
sepertiga dari tarif lahan yang menggunakan Perka lama.
“Untuk tarif dengan Perka lama, sejak berlaku (Oktober 2016) hingga penundaan (November 2016), sekitar Rp 2 miliar,” ungkapnya. (leo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar